Mulyadi Hasan
Selasa, 28 Maret 2017
MENGENALI PERASAAN
MENGENALI PERASAAN tidak persis sama dengan MENGENAL PERASAAN. Tujuan dari membedakan kedua istilah ini adalah agar tampak pembatas antara kedua ungkapan. “Mengenali perasaan” bermakna bahwa yang mengenali lebih besar daripada perasaan itu sendiri. Pemahaman ini tentunya tidak benar-benar sama dengan “mengenal perasaan” yang menyisakan kemungkinan makna bahwa perasaan lebih besar dari yang mengenal perasaan tersebut. Jika perasaan lebih besar, maka pengendaliannya menjadi sulit atau bahkan mustahil. Pengertian ini berlaku juga terhadap ungkapan mengenali pikiran dan mengenali jiwa serta mengenali diri’.
Pikiran dan perasaan tidak dapat dipisahkan, keduanya saling terkait karena saling mempengaruhi. Keadaan pikiran yang kacau berdampak pada perasaan, karena kekacauan pikiran itu menyebabkan ketidaknyamanan pada area perasaan. Sebaliknya, perasaan yang nyaman memungkinkan terkondisinya pikiran yang juga baik. Pikiran yang berupa sejumlah informasi tersimpan di jaringan syarat-syaraf otak dan disebut dengan istilah ‘memori’ karena sesuatu atau lain hal berupa stimulus atau rangsangan dari luar dapat menimbulkan perasaan. Sebagai misal, orang yang dibesarkan di lingkungan keluarga atau masyarakat yang sopan dan lembut akan bereaksi saat ia bertemu dengan orang yang berprilaku kasar terhadap dirinya. Reaksi yang timbul karena terjadinya benturan nilai-nilai kehidupan yang ia anut dapat menjadikan dirinya tertekan. Akibatnya, ia bisa saja menjadi emosional karena tekanan perasaan yang dipicu melalui pikirannya. Emosi yang dipicu pikiran ini disebut PERASAAN yang karena tidak terkendali memungkinkan timbulnya rasa benci, dan bahkan rasa dendam dan penyakit hati lainnya.
Pada satu sisi, perasaan adalah RASA yang boleh jadi berupa rasa baik maupun buruk. Rasa yang baik, antara lain adalah rasa kasih sayang dan senang, sedangkan rasa buruk adalah rasa iri dan dengki. Rasa seperti ini disebut PERASAAN. Jadi mengenali perasaan adalah mengenali rasa baik dan buruk yang timbul dari pikiran dan dipicu oleh rangsangan dari luar diri. Di sisi lain, PERASAAN tidak sama dengan RASA walaupun kata dasar pe-RASA-an berasal dari kata RASA. Makna dari kata PERASAAN itu lebih terarah ke diri batin seperti perasaan sedih, dengki, gembira atau perasaan jengkel. Ungkapan “Hatiku sedih” hanya bermakna perasaan yang terluka, bukan berarti luka dibagian hati yang terdiri dari segumpal daging.
Makna kata RASA mencakup rasa pada diri jasad dan diri batin atau jiwa. Perih karena terluka pisau adalah RASA di jasad. Sedangkan perih terluka karena kata-kata yang menyakitkan lebih cenderung ke RASA yang bermakna PERASAAN. Kepahaman memaknai perbe-daan makna kata PERASAAN dan kata RASA akan memudahkan pemahaman kata JIWA yang menjadi salah satu fokus dari pembahasan saat ini.
Sejauh ini dapat dipahami PERASAAN berhubungan erat dengan PIKIRAN, pikiranlah pemicu reaksi pada perasaan. Dengan memahami hal ini, maka SUPAYA DAPAT MENENANGKAN PERASAAN seseorang mesti terlebih dahulu MENENANGKAN DIRI atau PIKIRANNYA. Ketika pikiran tenang, perasaan pun tenang. Pertanyaan yang mungkin timbul, “Semudah itukah?” Memang mudah menenangkan pikiran karena kehilangan uang dalam jumlah yang kecil, sehingga perasaanpun segera tenang. Namun tidak demikian ketika uang yang hilang dalam jumlah agak besar. Kemelekatan terhadap benda-benda duniawi membuat sulit untuk mencapai ketenangan atau kedamaian. Kalaupun seseorang dapat melepaskan pikirannya dari kemelekatan, maka hal ini hanya dapat terjadi apabila dikehendaki Allah yang mengaruniai seseorang dengan sifat ikhlas karena mau BERSERAH DIRI, yakni MENERIMA KETETAPAN ALLAH.
Telah disinggung bahwa berpikir adalah suatu proses yang terjadi apabila dalam otak telah terinstal memori sebelumnya. Tanpa memori seperti butiran informasi sebagai dasar berpikir, proses berpikir tersebut belum dapat berlangsung karena berpikir adalah pengaktifan latar belakang pengetahuan yang dipicu oleh stimulus dari luar. Semakin banyak informasi yang tersedia di syaraf-syaraf otak, semakin baik dan lancar pula proses berpikir. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Informasi yang didapati dari pengalaman dan pendidikan sangat menentukan kemampuan berpikir. Seorang nelayan yang dalam kesehariannya bergelut dengan menangkap ikan di laut mengalami kesulitan apabila ditanyakan tentang cara membedah otak yang biasanya dilakukan oleh dokter ahli bedah. Di dalam otak nelayan itu tidak tersimpan memori atau latar belakang pengetahuan cara membedah otak manusia.
Selain KUANTITAS informasi yang tersimpan di otak, KUALITAS informasi juga sangat menentukan proses berpikir. Apabila informasi negatif lebih dominan dari pada informasi yang positif, maka kemungkinan untuk berpikir buruk akan mendominasi pemikiran. Sehingga, setiap muncul stimulus dari luar diri, kecenderungan berpikir buruklah yang akan terjadi. Sedangkan pikiran negatif itu sedikit banyaknya mengganggu ketenangan jiwa. Oleh karena itu, bagi yang mempunyai memori negatif yang lebih dominan, maka pembersihan latar belakang pengetahuan yang negatif ini mesti dilakukan terlebih dahulu. Melalui beberapa latihan yang efektif, memori negatif ini dapat di-DELETE dan di-INSTAL dengan nilai-nilai yang jauh lebih baik sebagai bekal menjalani kehidupan yang penuh tantangan. Jika tidak demikian, sulit baginya untuk mencapai ketenangan.
Sebagai contoh, seorang remaja yang mempunyai latar belakang pengetahuan berupa informasi negatif bahwa bunuh diri adalah solusi bagi orang yang putus cinta seperti pernah ia saksikan melalui pemberitaan surat kabar atau televisi cenderung melakukan hal yang sama seperti yang ia lihat dari media massa tersebut. Bukan tidak mungkin ketika ia sendiri mengalami putus cinta akan memilih meminum racun nyamuk sebagai pilihan menyelesaikan masalah. Atau saat terlihat tali jemuran, ia berpikir bahwa bunuh diri dengan menggantungkan leher adalah sebuah cara mengakhiri penderitaan yang sedang ia tanggung atau alami.
Tidak demikian halnya, jika di dalam otak remaja tadi telah pernah diinstal nilai-nilai kehidupan yang positif bahwa bunuh diri adalah perbuatan yang dimurkai oleh Allah, maka kekuatan memori positif tadi akan timbul sebagai tameng untuk tidak melakukan tindakan nekat bunuh diri. Nah, karena perasaan timbul dipicu oleh pikiran, maka pikiran negatif menimbulkan perasaan yang tidak tenang. Hal ini tentunya berlaku sebaliknya, apabila pikiran positif yang lebih dominan, ketenangan pun akan mudah dicapai. Dari penjelasan ini, maka benarlah Firman Allah bahwa beruntung orang yang menjaga kesucian jiwanya.
Sebagai kesimpulan sementara dari sub MENGENAL PERASAAN ini, dapat disampaikan bahwa sebenarnya tidak terlalu sulit memahami yang dimaksud dengan PERASAAN karena kata ini sering diucapkan dalam kegiatan sehari-hari. Sedih, gembira, gusar dan senang adalah contoh dari kata-kata yang mengungkapkan kehadiran perasaan pada seseorang. Sedih berpasangan dengan gembira dan gusar berpasangan dengan senang. Dari contoh tersebut sekaligus terlihat bahwa perasaan seperti halnya pikiran adalah dualitas yaitu berpasang-pasangan. Pikiran terdiri dari pikiran yang baik dan pikiran buruk. Perasaan yang tidak tentram timbul dari pikiran negatif atau buruk.“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS Yaasiin (36) :36)
0 komentar:
Posting Komentar