Jumat, 29 November 2019

Pendidikan Karakter di Sekolah


PERAN STRATEGIS LEMBAGA PENDIDIKAN DALAM PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh Hermanudin
ABSTRAK
Artikel ini didasari fenomena prilaku yang tidak baik terjadi pada para pelajar. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk membahas pentingnya peran guru dan sekolah dalam pelaksaan pendidikan karakter di sekolah.  Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan menggambarkan peran   guru dan sekolah dalam melaksanakan penguatan pendidikan karakter di sekolah dengan sumber utama kajian pustaka (Literature review). Hasil kajian menunjukkan bahwa guru dan sekolah sangat berperan penting dalam penguatan pendidikan karakter. Penulis berkesimpulan bahwa peran guru dan sekolah sangat menentukan karakter siswa.
Kata kunci: Pendidikan Karakter, nilai-nilai karakter 
1. Pendahuluan
Krisis karakter atau moralitas pada pelajar dan remaja ditandai dengan meningkatnya kejahatan tindak kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang (narkoba), pornografi dan pornoaksi yang terjadi di masyarakat. Salah satu bentuk tindak kekerasan yang terjadi baru-baru ini adalah tawuran antar pelajar yang menewaskan satu orang siswa SMK Harapan Mulya Kendal bernama Wahyu Purnomo (Tribunnews-20 Apr 2018). Bahkan siswa salah satu sekolah dasar di Purwakarta  terlibat tawuran hanya karena gara-gara lewat tanpa permisi (PikiranRakyat- 20 April, 2018 - 23:34). Di Sampang, Madura, seorang guru honorer tewas setelah dianiaya muridnya (Tribunnews.com, Jumat, 2 Februari 2018).  Di Kota Batu Malang,  hingga akhir bulan Maret 2018 tercacat ada sekitar 60 orang yang menjalani masa rehabilitasi oleh Badan Narkotika Nasional,  80 persen adalah pelajar (MalangTimes.com-8/4/2018). Maraknya geng motor yang sering menjurus pada tindak kekerasan yang meresahkan masyarakat bahkan tindakan kriminal seperti pemalakan dan penganiayaan (Kompas.com-05/04/2018). Disamping melakukan tindakan kekerasan, siswa juga berperilkau tidak jujur, hal ini dibuktikan dengan adanya warung kejujuran yang dibuat di beberapa sekolah mengalami kebangkrutan. Fenomena lain yang sangat mencoreng citra pelajar dan lembaga pendidikan juga adanya pergaulan bebas (free sex) yang dilakukan oleh para pelajar dan mahasiswa. Seperti yang dilansir oleh Sexual Behavior Survey (dalam file:///C:/Users/USERPC/Downloads/15-908-1-PB%20(1).pdf ) yang melakukan survey di 5 kota besar di Indonesia, yaitu Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali pada bulan Mei 2011. Dari 663 responden yang diwawancarai mengakui bahwa 39% responden remaja usia antara 15-19 tahun pernah berhubungan seksual, sisanya 61% berusia 20-25 tahun..
Semua perilaku negatif yang terjadi di kalangan pelajar jelas menunjukkan kurangnya moralitas dan pendidikan karakter yang baik bagi pelajar. Salah satu penyebabnya diduga tidak optimalnya penguatan pendidikan karakter di lembaga pendidikan. Pelaksanaan pendidikan karakter harus dipikul oleh semua pihak, termasuk kepala sekolah, para guru, staf tata usaha, tukang sapu, penjaga sekolah dan yang terutama lagi orang tua di rumah. Karena luasnya permasalahan pendidikan karakter ini, maka penulis membatasi permasalahan pada peran sekolah sebagai lembaga pendidikan dalam melaksanakan pendidikan karakter di sekolah.

2. Pembahasan
2.1          Pengertian karakter dan Pendidikan Karakter
Menurut Doni Koesoema (2011:104), karakter merupakan  sebuah kondisi dinamis struktur antropologis individu, yang tidak mau sekadar berhenti atas determinasi kodratinya, melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya terus menerus.
Scerenko (dalam Samani dan Hariyanto, 2012:42) mendifinisikan karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan kompleksitas mental dari seseorang. Samani dan Hariyanto (2012: 43) memaknai karakter sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujutkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Simon Philips (dalam Muslich: 70), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain.
Dari beberapa pengertian tersebut, karakter dapat diartikan sebagai nilai dasar yang membangun seseorang sebagai ciri yang membentuk sifat-sifat kejiwaan yang membedakannya dengan orang lain. Karakter dapat juga dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas tiap individu, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya.
Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika yang berlaku ditengah masyarakat. Karakter tersusun dari tiga bagian yang saling berhubungan, yakni: moral knowing (pengetahuan moral), moral feeling (perasaan moral), dan moral behavior (perilaku moral). Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan tentang kebaikan (knowing the good), keinginan terhadap kebaikan (desiring the good), dan berbuat kebaikan (doing the good).
Dalam pengertian sederhana pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Menurut Winton (dalam Samani dan Hariyanto, 2012: 43), pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya. Koesoema (2011:4) mengungkapkan bahwa pendidikan karakter diartikan sebagai sebuah bantuan sosial agar individu itu dapat bertumbuh dan menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain dalam dunia. Samani dan dan Hariyanto (2012: 45) mendifinisikan pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik  untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.  
Dari beberapa definisi tersebut, pendidikan karakter dapat diartikan sebagai upaya sunguh-sungguh guru untuk mengajarkan nilai-nilai pada siswanya agar mereka menjadi individu yang berkarakter dalam dimensi olah hati, rasa, dan karsa.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan apa yang baik itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati, serta meninggalkan apa yang buruk. Pendidikan karakter, bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan.

2.2       Nilai-nilai Pendidikan Parakter
Muchlas Samani dan Hariyanto (2012: 46-47) mengelompokkan nilai-nilai karakter menjadi lima bagian, yaitu: 1) sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan; 2) sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan diri sendiri; 3) sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan keluarga; 4) sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan masyarakat dan bangsa, dan 5) sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan alam sekitar.
Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan antara lain: beriman, bertakwa, bersyukur, mawas diri, pemaaf, pemurah, disiplin, dan pengabdian. Sikap dan perilku dalam hubungannya dengan diri sendiri antara lain: bekerja keras, berani memikul resiko, berhati lembut/berempati, berpikir matang, berpikir jauh ke depan, bersemangat, bersikap konstruktif, bertanggung jawab, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis, gigih, jujur, kreatif, lugas, mandiri, mawas diri, menghargai orang lain dan lain-lain. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan keluarga antara lain: bekerja keras, cermat, menghargai waktu, tertib, ramah tama, pemaaf, rasa kasih sayang, rela berkorban, hormat, sabar, setia, tegas, amanah, dan lain-lain. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan masyarakat dan bangsa antara lain: bekerja keras, berpikir jauh ke depan, toleran, bijaksana, jujur, pemurah, hormt, tertib, sportif dan lain-lain. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan alam sekitar antara lain: bekerja keras, berpikir jauh ke depan, menghargai kesehatan, pengabdian dan lain-lain.
Menurut sukamto (dalam Muslich, 2011: 79), nilai-nilai karakter yang perlu diajarkan kepada anak meliputi: Kejujuran, Loyalitas dan dapat diandalkan, Hormat, Cinta, Ketidak egoisan dan sensitifitas, Baik hati dan pertemanan, Keberanian, Kedamaian, Mandiri dan potensial, Disiplin diri dan moderasi, Kesetiaan dan kemurnian, Keadilan dan kasih sayang.
Menurut konsep Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter Kementrian Pendidikan dan kebudayaan (Kemdikbud, 2016: 8),  ada lima nilai utama Penguatan Pendidikan Karakter:
1.      Relegius
Nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaranagama dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain.
Nilai karakter religius ini meliputi tiga dimensi relasi sekaligus, yaitu hubungan individu dengan Tuhan, individu dengan sesama, dan individu dengan alam semesta (lingkungan). Nilai karakter religius ini ditunjukkan dalam perilaku mencintai dan menjaga keutuhan ciptaan.
Subnilai religius antara lain cinta damai, toleransi, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama antar pemeluk agama dan kepercayaan, antibuli dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak, mencintai lingkungan, melindungi yang kecil dan tersisih.
2.      Nasionalis
Nilai karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Subnilai nasionalis antara lain apresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa,rela berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan,taat hukum, disiplin, menghormati keragaman budaya, suku,dan agama.
3.      Mandiri
Nilai karakter mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada orang lain dan  mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita.
Subnilai mandiri antara lain etos kerja (kerja keras), tangguh tahan banting, daya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.
4.      Gotong Royong
Nilai karakter gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/ pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan.
Subnilai gotong royong antara lain menghargai, kerja sama, inklusif, komitmen atas keputusan bersama, musyawarah mufakat, tolongmenolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan, dan sikap kerelawanan.
5.      Integritas
Nilai karakter integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral (integritas moral).  Karakter integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat dalam kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran.
Subnilai integritas antara lain kejujuran, cinta pada kebenaran, setia, komitmen moral, anti korupsi, keadilan, tanggungjawab, keteladanan, dan menghargai martabat individu (terutama penyandang disabilitas).
Kelima nilai utama karakter bukanlah nilai yang berdiri dan berkembang sendiri-sendiri melainkan nilai yang berinteraksi satu sama lain, yang berkembang secara dinamis dan membentuk keutuhan pribadi. Dari nilai utama manapun pendidikan karakter dimulai, individu dan sekolah pertlu mengembangkan nilai-nilai utama lainnya baik secara kontekstual maupun universal. Nilai religius sebagai cerminan dari iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan secara utuh dalam bentuk ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing dan dalam bentuk kehidupan antarmanusia sebagai kelompok, masyarakat, maupun bangsa. Dalam kehidupan sebagai masyarakat dan bangsa nilainilai religius dimaksud melandasi dan melebur di dalam nilai-nilai utama nasionalisme, kemandirian, gotong royong, dan integritas. Demikian pula jika nilai utama nasionalis dipakai sebagai titik awal penanaman nilai-nilai karakter, nilai ini harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang tumbuh bersama nilai-nilai lainnya.

2.3       Peran Guru Dalam Pendidikan karakter
Peristiwa pengajaran di dalam kelas merupakan momen pendidikan karakter yang sangat strategis. Di dalam kelas, guru tak ubahnya seorang manajer yang sedang mengendalikan dan mengarahkan lingkungannya. Dalam perjumpaan antara guru dan siswa inilah terdapat proses penanaman nilai secara lebih nyata. Mereka secara bersama-sama membentuk komunitas belajar. Pertemuan dalam kelas terjadi secara terencana dan teratur melalui penjadwalan mata pelajaran tertentu sesuai dengan kurikulum lembaga pendidikan tersebut. oleh karena itu, guru memiliki peran strategis dalam penanaman nilai pendidikan karakter. Sehubungan dengan itu, Doni Koesoema (2011: 231-233) mengungkapkan peran guru dalam bertindak sebagai manajer di kelas adalah sebagai berikut:
1.         Bertindak sebagai pengasuh, teladan, dan pembimbing.
Guru harus memperlakukan siswa dengan penuh cinta dan rasa hormat, mengondisikan terciptanya keteladanan yang baik, mendukung prilaku sosial yang positif, memperbaiki perilaku yang merusak.
2.         Menciptakan sebuah komunitas moral.
Guru semestinya membantu setiap siswa untuk dapat saling menghargai satu sama lain, memiliki rasa hormat, saling mengasuh satu sama lain, merasakan diri sebagai bagian dalam kelompok dan bertanggung jawab atas kelompoknya.
3.         Menegakkan disiplin moral melalui pelaksanaan kesepakatan yang telah ditentukan sebagai aturan main bersama.
4.         Menciptakan sebuah lingkungan kelas yang demokratis, dengan cara melibatkan siswa dalam mengambil keputusan dan bertanggung jawab bagi terbentuknya kelas sebagai tempat belajar yang menyenangkan
5.         Mengajarkan nilai-nilai melalui kurikulum dengan cara menggali isi materi pembelajaran dari mata pelajaran yang sangat kaya dengan nilai-nilai moral, seperti sastra, sejarah, teknologi dan sains, dan kewarganegaraan sebagai saarana bagi pengajaran nilai-nilai moral dan membahas persoalan-persoalan moral.
6.         Menggunakan metode pembelajaran melalui kerjasama agar siswa mampu mengembangkan kemampuan mereka dalam memberikan apresiasi atas pendapat orang lain, berani memiliki pendapat sendiri, mampu dan mau bekerja sama dengan yang lain demi berhasilnya tujuan bersama.
7.         Membangun sebuah rasa ‘tanggung jawab pembentukan diri’ dalam diri siswa dengan cara memberikan penghargaan atas kesediaan para siswa untuk belajar, menyemangati kemampuan mereka untuk dapat bekerja keras, memiliki komitmen pada keunggulan, dan penghayatan akan nilai kerja yang dapat memengaruhi kehidupan orang lain.
8.         Mengajak siswa agar berani memikirkan dan mengolah persoalan yang berkaitan dengan konflik moral, melalui bacaan, penelitian, penulisan esai, kliping koran, diskusi dan lain-lain.
9.         Melatih siswa untuk belajar memecahkan konflik yang muncul secara adil dan damai tanpa kekerasan sehingga para siswa memperoleh keterampilan moral esensial ketika harus menghadapi perssoalan serupa di dalam hidup mereka.
Guru adalah profesi yang mulia, mendidik dan mengajarkan pengalaman baru bagi anak didiknya. Siswa banyak belajar dari apa yang dilihat dan didengar, untuk itu perlu ada contoh teladan yang baik.  Keteladanan dari seorang guru sesungguhnya menjadi jiwa dari pendidikan karakter. Masnur Muslich (2011: 56-57) memberikan tips menjadi guru berkarakter yang hebat sebagai berikut:
1.         Mencintai anak.
Cinta yang tulus kepada anak adalah modal awal mendidik anak. Guru menerima anak didiknya apa adanya, mencintai tanpa syarat dan mendorong anak untuk melakukan yang terbaik pada dirinya. Penampilan yang penuh cita adalah dengan senyum, sering tampak bahagia dan menyenangkan, dan berpandangan hidup yang positif.
2.         Bersahabat dengan anak dan menjadi teladan bagi anak
Guru harus bisa digugu dan ditiru oleh anak. Oleh karena itu, setiap apa yang diucapkan di hadapan anak harus benar, cara penyampaian harus menyenangkan dan beradab. Anak senantiasa mengamati perilaku gurunya dalam setiap kesempatan.
3.         Mencintai pekerjaan guru.
Guru yang mencintai pekerjaannya akan senantiasa bersemangat. Setiap tahun ajaran baru adalah dimulainya suatu kebahagiaan dan satu tantangan baru. Guru yang hebat tidak merasa bosan dan terbebani. Guru yang hebat akan mencintai anak didiknya satu persatu, memahami kemampuan akademisnya, kepribadiannya, kebiasaannya, dan kebiasaan belajarnya.
4.         Luwes dan mudah beradaptasi dengan perubahan.
Guru harus terbuka dengan teknik mengajar, membuang rasa sombong dan selalu mencari ilmu. Ketika masuk ke kelas, guru harus dengan pikiran terbuka dan tidak ragu mengevaluasi gaya mengajarnya sendiri, dan siap berubah jika diperlukan.
5.         Tidak pernah berhenti belajar.
Dalam rangka meningkatkan profesionalitasnya, guru harus selalu belajar dan belajar. Kebiasaan membaca buku sesuai dengan bidang studinya dan mengkases iformasi aktual yang diperlukan.

2.4.     Peran Lembaga Pendidikan Dalam Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter di lembaga pedidikan terintegrasi dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Penumbuhan budi pekerti secara terintegrasi dalam pembelajaran dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung baik di dalam maupun di luar kelas. Selama proses pembelajaran, siswa berinteraksi dengan bahan ajar, dengan guru, dan antar sesama siswa melalui berbagai aktivitas belajar (kemdikbud, 2017:19). Melalui interaksi dengan substansi bahan ajar, siswa memperoleh pengetahuan tentang nilai (moral knowing). Sementara itu, melalui interaksinya dengan guru dan sesama siswa dalam berbagai kegiatan pembelajaran, para siswa akan memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai moral yang baik lebih mendalam dan meresapi pentingnya nilai-nilai (moral feeling) serta tumbuh perilaku sehari-hari yang dilandasi oleh nilai-nilai budi pekerti yang baik tersebut (moral action). Proses pembelajaran yang menumbuhkan budi pekerti perlu dirancang dengan cermat, dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, dan dievaluasi terus-menerus secara menyeluruh. Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) harus dengan sengaja dirancang untuk pembelajaran yang tidak hanya menjadikan siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga yang menumbuhkan budi pekerti. Selanjutnya kegiatan-kegiatan pembelajaran yang menantang dan menyenangkan yang telah dirancang dalam RPP dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Akhirnya perkembangan budi pekerti siswa diikuti dan difasilitasi terus-menerus hingga secara konsisten menampilkan budi pekerti yang dilandasi oleh nilai-nilai moral yang baik.
Pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Berdasarkan grand desain yang dikembangkan Kemendiknas, secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter ini dapat dikelompokkan ke dalam: 1. Olah hati (spritual and emotional development), 2. Olah pikir (intellectual development), 3. Olah raga dan kinestetik (physical and kinesthetic development), dan 4. Olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Keempat hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, bahkan saling  melengkapi dan saling terkait.
Pendidikan karakter dalam setting sekolah didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah. Definisi ini mengandung makna:
1.      Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang terintegrasi dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran.
2.      Diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh
3.      Penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang dirujuk sekolah/lembaga.
Dengan demikian pendidikan karakter merupakan proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga serta rasa dan karsa. Karakter tersebut diharapkan menjadi kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa/karsa.
Sekolah, jika dijiwai dengan semangat pendidikan karakter akan menjadi tempat yang efektif bagi pembentukan individu sehingga mereka menjadi pribadi yang tumbuh dengan baik. Lingkungan sekolah dapat menjadi tempat pendidikan yang baik bagi pertumbuhan karakter siswa.  Sekolah menjadi tempat penanaman nilai-nilai, penumbuhkembangan karakter, sehingga siswa menjadi individu yang bertanggung jawab. Untuk itu, patutlah ditelaah momen-momen apa saja yang dapat dijadikan locus education pendidikan karakter di dalam lembaga pendidikan. Doni Koesoema (2011: 222) merinci locus education pendidikan karakter di sekolah sebagai berikut:
1.      Sekolah sebagai wahana aktualisasi nilai.
Sekolah dapat menjadi wahana utama untuk menanamkan nilai-nilai moral universal pada siswanya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki fungsi strategis dalam mengembangkan sebuah penciptaan lingkungan sekolah yang menghargai kultur yang hormat terhadap nilai-nilai moral. Sekolah bisa menjadi kesempatan yang baik bagi guru untuk membuktikan kinerja dan integritas profesional mereka sehingga mereka mampu memposisikan diri sebagai model keteladanan para siswa.

2.      Setiap perjumpaan adalah momen pendidikan nilai.
Setiap perjumpaan sesungguhnya merupakan momen untuk menanamkan pendidikan nilai-nilai karakter, karena itu setiap individu di dalam lingkungan sekolah sesungguhnya merupakan partner, rekan kerja harus saling mendukung dan menghargai satu sama lain. sekolah semestinya menciptakan sebuah kultur kehidupan moral dengan cara menggemakan terus menerus ethos sekolah, melalui kepemimpinan kepala sekolah, kedisiplinan, rasa bersama sebagai satu anggota komunitas sekolah.

3.      Wawasan Wiyatamandala Pada Masa orientasi Sekolah.
Prinsip dasar Masa Orientasi Sekolah (MOS)  adalah bahwa kegiatan ini merupakan sarana integrasi, pengenalan, dan penggalian kreativitas siswa baru sehingga sekolah dapat mendampingi dan mengembangkan bakat-bakat siswa tersebut. MOS merupakan pengenalan sekitar kehidupan sekolah, kultur, dan nilai-nilai positif lainnya yang sudah berjalan selama ini.

4.      Manajemen Kelas.
Manajemen kelas diartikan sebagai pengelolaan kelas, yakni tata hubungan timbal balik antar individu yang ada dalam kelas tesebut. Peristiwa pengajaran di dalam kelas merupakan momen pendidikan karakter yang sangat strategis. Di dalam kelas, guru tak ubahnya seorang manajer yang sedang mengendalikan dan mengarahkan lingkungannya. Dalam perjumpaan antara guru dan siswa inilah terdapat proses penanaman nilai secara lebih nyata.  

5.      Penegakan kedisiplinan di sekolah.
Permasalahan utama yang sering dibahas dalam kerangka pendidikan karakter adalah pesoalan kedisiplinan di sekolah. Disiplin sekolah menurut F.W. Foester (dalam Koesoema, 2011: 233)  merupakan keseluruhan ukuran bagi tindakan-tindakan yang menjamin kondisi moral yang diperlukan sehingga proses pendidikan berjalan lancar dan tidak terganggu. Jika di sekolah lebih banyak memberikan analisis sosial tentang pemberian hukuman pidana bagi siswa, tidak akan mampu memberikan pembentukan kepribadian yang sifatnya lebih positif. Penegakan disiplin di sekolah mengacu pada pembentukan sebuah lingkungan yang di dalamnya aturan bersama itu dihormati dan siapa pun yang melanggar mesti berani mempertanggungjawabkannya. Setiap pelanggaran atas kepentingan umum di dalam sekolah mesti diganjar dengan hukuman yang mendidik sehingga siswa mampu memahami bahwa nilai disiplin itu demi stabilitas dan kedamaian hidup bersama.

6.      Pendampingan perwalian
Wali kelas memiliki peran yang sangat penting bagi pendidikan karakter di kelas, karena ia yang paling bertanggung jawab terhadap berhasil tidaknya komunitas kelas yang dipimpinnya. Wali kelas mempunyai kesempatan yang luas untuk melakukan pembinaan terhadap kelasnya. Pembinaan ini sangat penting untuk pembentukan karakter siswa. Wali kelas mempunyai akses kepada orang tua siswa untuk bekerja sama dalam membentuk karakter siswa.

7.      Pendidikan Agama bagi pembentukan karakter
Pendidikan karakter tidak dapat lepas dari pendidikan agama. Sebaliknya,  pendidikan karakter di sekolah semestinya meningkatkan iman dan kepercayaan seseorang, membuatnya menjadi manusia taqwa, sekaligus menjadikan manusia Indonesia seutuhnya, mampu berbakti, berjuang, dan bekerjasama demi kepentingan masyarakat dan bangsa.

8.      Pendidikan jasmani bagi pendidikan karakter.
Pendidikan jasmani dalam rangka pendidikan karakter terutama tertuju pada proses pembentukan perilaku dan sikap. Keterlibatan dalam olah raga akan memberikan dampak positif bagi siswa terutama dalam mengurangi perilaku yang beresiko secara sosial, mabuk-mabukan dan miras. Olah raga dapat meningkatkan rasa percaya diri pada siswa. Men sana in corporisano.

9.      Mengembangkan kurikulum secara integral.
Kurikulum yang dikembangkan di sekolah akan menjadi penentu kualitas lembaga pendidik tersebut. sebab, ancangan kurikulum inilah yang akan menentukan apakah pendidikan siswa di sekolah itu memiliki integrasi dan keutuhan sehingga mampu menjadi sarana bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan akademis dan kompetensi sosialnya secara utuh.

10.   Pendidikan Kehendak melalui pengalaman.
Pendidikan di sekolah haruslah menyeimbangkan pendidikan intelektual dengan pendidikan moral. Pendidikan  intelektual tanpa disertai dengan pendidikan moral bisa membutakan siswa dari kebenaran. Siswa yang cerdas secara intelektual tetapi kurang mendapat pendidikan moral akan cenderung mengutamakan keinginannya sendiri dan sulit berbagi dengan teman-temannya di sekolah. Oleh karena itu, pendidikan intelektual haruslah diimbangi dengan pendidikan moral. Berbagai macam program pengenalan langsung tentang kehidupan masyarakat mestinya menjadi bagian dari kinerja pendidikan di sekolah jika sekolah ingin sungguh-sungguh menanamkan karakter dalam diri anak didik mereka.

2.5.     Bentuk-Bentuk Penyimpangan yang Terjadi di Sekolah
Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah berperan besar dalam membentuk dan menanamkan pendidikan karakter pada siswa di sekolah. Namun demikian ada hal-hal yang disadari atau tidak, telah terjadi pembiaran yang  memberikan dampak tidak baik bagi siswa sehingga terbentuk prilaku yang kurang terpuji. Hal-hal tersebut diantaranya adalah:
1.         Kepala Sekolah Tidak Memberikan Contoh Teladan yang Baik
Kepala sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah, terutama dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyelaraskan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Kepala sekolah menjadi penentu ciri khas suatu sekolah. Jika seorang kepala sekolah memiliki karakteristik kepemimpinan yang baik dan mampu mentransformasikan kepada guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik maka secara langsung maupun tidak langsung akan membangkitkan dan menumbuhkan jiwa, nalar, dan karakter yang baik pada semua warga sekolah. Namun jika seorang kepala sekolah tidak memiliki karakter kepemimpinan yang baik maka yang terjadi adalah sebaliknya. Sehubungan dengan itu, masih ada ditemui kepala sekolah yang tidak memberikan contoh teladan yang baik pada warga sekolah, seperti:
o Datang terlambat.
o Pulang duluan dengan berbagai alasan.
o Tidak Konsisten  dengan yang disampaikan.
o Otoriter dalam memimpin.
o Tidak tegas dalam mengambil keputusan atau tindakan.
o Merokok di lingkungan sekolah.
o Tidak dapat mengontrol emosi di depan warga sekolah.
o Tidak tuntas dalam menyelesaikan permasalahan anak.
o Kurang menjalin kerjasama dengan masyarakat sekitar.
o Kurang transparan dalam mengelola keuangan sekolah.
o Bersifat arogan
o Dan lain-lain

2.       Guru Tidak Memberi Contoh yang Baik
Guru merupakan sosok yang menjadi panutan siswa di sekolah. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan guru akan dilihat dan dicontoh oleh siswanya.  Sudah seharusnya guru memberikan contoh dan teladan yang baik. Namun demikian masih sering ditemui guru yang tidak memberikan contoh teladan yang baik. Ada beberapa perilaku guru yang tidak baik dan kadang terjadi di sekolah, antara lain:
o    Guru merokok di kelas dan dilingkungan sekolah.
o    Guru  datang terlambat datang ke sekolah.
o    Guru terlambat masuk ke kelas
o    Guru pulang duluan
o    Guru cepat keluar dari ruangan
o    Guru hanya memberikan catatan ketika jam pelajaran berlangsung sementara dia duduk-duduk di kantor
o    Guru tidak memberikan tugas ketika tidak bisa masuk kelas
o    Guru cenderung untuk bersikap otoriter dan ingin “menggurui” 
o    Guru tidak memperlihatkan kepribadian yang fleksibel.
o    Guru membuang sampah tidak pada tempatnya
o    Guru cendrung menyuruh siswa melakukan pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan pembelajaran.
o    Guru tidak selaras ucapan dan perbuaannya.
o    Terjadi persaingan yang tidak sehat di sekolah yang dapat memberikan contoh yang tidak baik pada siswa.
o    Guru tidak dapat mengontrol emosi
o    Sering menggunakan kata-kata yang kurang pantas diucapkan ketika berhadapan dengan siswa.
o    Bersifat arogan
o    Dan lain-lain

3.   Memberi Hukuman yang Tidak Menyelesaikan Masalah.
Menjadi guru memang bukan pekerjaan yang mudah. Butuh kesabaran yang luar biasa untuk dapat mengendalikan emosi dalam mengontrol para siswa. Memang selalu ada-ada saja ulah siswa yang menjengkelkan, dari yang sering terlambat, ribut di kelas, menyontek, lupa mengerjakan PR, dsb. Dalam hal ini, dapat dimengerti jika guru menggunakan metode hukuman untuk dapat lebih mudah mengontrol, mengendalikan perilaku siswa, sekaligus memberikan efek jera dan bentuk peringatan bagi anak-anak yang lain. Di satu sisi, hukuman memang cara yang paling praktis untuk membuat siswa berhenti melakukan kenakalan. Namun di sisi lain, apakah hukuman yang diberikan betul-betul dapat menyelesaikan masalah?
Dalam konteks ini perlu mengevaluasi penerapan "hukuman" sebagai alat kontrol di dalam kelas. Terutama pada siswa yang sedang dalam umur-umur krusial untuk menumbuhkan rasa kecintaan mereka terhadap sebuah ilmu. Memberi hukuman bisa jadi tepat jika proses itu memberikan pengertian bagi siswa bahwa tindakan dia itu keliru. Berilah hukuman jika itu membuat siswa memahami konsekuensi dan risiko yang relevan dari tindakannya. Akan jauh lebih baik lagi, jika bentuk hukuman, teguran, sanksi, atau perintah dari guru tersebut berorientasi pada penyelesaian akar masalah yang sesungguhnya, bukan sekadar menjadi bentuk cara untuk mengontrol, memberi efek jera, memberi contoh pada siswa lain, apalagi hanya untuk sekadar melampiaskan emosi dan kejengkelan terhadap murid tersebut.
4.   Sikap Tutup Mata Terhadap Perilaku Menyimpang Siswa
Sudah seharusnya kepala sekolah, guru, dan staf tata usaha memberi peringatan atau teguran terhadap perbuatan siswa yang dianggap tidak baik yang terjadi di lingkungan sekolah agar mereka menyadari perbuatan tersebut. Tetapi sering terjadi ketidakpedualian terhadap perbuatan tidak baik tersebut. Bentuk ketidakpedulian itu antara lain:
o    Siswa membolos kurang diperhatikan.
o    Siswa tidak melaksanakan piket dibiarkan.
o    Siswa membuang sampah sembarangan tidak dilarang.
o    Siswa ribut dalam kelas kurang dipedulikan.
o    Siswa berkelahi tidak diselesaikan sampai tuntas.
o    Siswa merokok di kelas tidak diselesaikan.
o    Siswa terlambat masuk dibiarkan.
o    Siswa sering ke luar kelas ketika jam pelajaran berlangsung dibiarkan.
o    Siswa tidak membuat tugas dibiarkan.
o    Siswa melanggar tata tertib sekolah kurang diperhatikan.
o    Dan lain-lain.
5.   Peran Wali Kelas yang Tidak Maksimal
Wali kelas bertanggung jawab terhadap kelas yang dibinanya. Wali kelas harus membina siswa yang dibawa perwaliannya. Untuk itu, ia harus cepat tanggap terhadap semua persoalan yang terjadi di kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Hal yang kadang terjadi adalah wali kelas kurang menjalankan peran perwaliannya dalam membina siswa yang menjadi tanggung jawabnya tersebut. Hal itu  tentu berdampak tidak baik bagi siswa binaannya. Bentuk ketidak pedulian itu antara lain:
o    Wali kelas kurang memahami perkembangan prestasi siswa di kelasnya.
o    Wali kelas kurang memberikan perhatian terhadap kehadiran siswa di kelasnya.
o    Wali kelas kurang memperhatikan permasalahan yang terjadi di kelasnya.
o    Wali kelas kurang menjalin kerjasama dengan orang tua siswa binaannya.
o    Wali kelas kurang memperhatikan jurnal kelasnya
o    Dan lai-lain.
6.   Peran Guru Bimbingan Konseling yang Tidak Maksimal
Guru Bimbingan konseling (BK) sangat berperan besar dalam membentuk kepribadian siswa di sekolah. Guru BK bukan hanya membina siswa yang bermasalah saja, tetapi juga membina siswa yang berprestasi dalam bidang-bidang tertentu. Pada kurikulum 2013, guru BK memberikan penilaian sikap untuk direkomendassikan kepada wali kelas dalam penentuan kenaikan kelas (Kemdikbud, 2016: 22). Sehubungan dengan itu, sudah seharusnya guru BK berperan aktif dalam membina siswa di sekolahnya. Tetapi masih ditemukan guru BK yang tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, seperti:
o    Guru BK hanya membina siswa yang bermasalah saja.
o    Guru BK tidak menjalin kerjasama yang baik dengan wali kelas.
o    Guru BK kurang menjalin kerjasama dengan orang tua siwa.
o    Guru BK saling lempar tanggung jawab dengan wali kelas.
o    Guru BK kurang memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai konselor.
o    Dan lain-lain.

7.   Gerakan Literasi Sekolah yang Tidak Berjalan Maksimal.
       Gerakan literasi sekolah menurut Kemendikbud (2016:3) merupakan gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca siswa. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca (guru membacakan buku dan warga sekolah membaca dalam hati, yang disesuaikan dengan konteks atau target sekolah). Ketika pembiasaan membaca terbentuk, selanjutnyaakan diarahkan ke tahap pengembangan, dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum 2013). Kegiatan literasi ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat dan budaya membaca siswa. Berdasarkan desain dari Kemendikbud tersebut, semua elemen di sekolah harus terlibat dalam kegiatan Literasi ini. Namun kenyataannya, ketika kegiatan tersebut berlangsung, tidak semua elemen sekolah terlibat. Dapat dicontohkan, ketika kegiatan membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai, guru tidak ikut serta membaca bersama siswa. Guru bahkan belum masuk ke kelas walaupun waktu  itu adalah jam pelajaran guru yang bersangkutan. Ini adalah contoh yang tidak baik bagi penanaman karakter di sekolah.
 8.   Tidak Suka Minta Maaf Ketika Melakukan Kesalahan
Potret buram yang banyak terjadi di sekolah adalah tidak suka minta maaf jika melakukan kesalahan. Ini bukan hanya terjadi pada siswa tetapi juga terjadi pada guru. Guru  sering menegur siswa yang memakai pakaian kurang rapi, bertanya mengapa terlambat, atau mengapa tidak mengerjakan PR. Semua yang dilakukan siswa adalah kesalahan, namun amat jarang siswa yang meminta maaf secara spontan. Yang mereka lakukan ketika terlambat atau tidak mengerjakan tugas adalah terburu-buru menyampaikan berbagai alasan untuk menutupi kesalahannya. Bapak ibu guru juga sering melakukan hal yang sama. Ketika terlambat masuk ke kelas, bukannya meminta maaf pada siswa karena terlambat, tetapi buru-buru menyampaikan alasan mengapa terlambat.
Lalu, mengapa para siswa atau pun guru agak sulit meminta maaf jika melakukan kesalahan? Sebagai guru, wajib berwas-was. Jangan jangan karena gurunya juga jarang meminta maaf di hadapan para siswa. Contoh konkret, guru dapat bertanya pada diri sendiri, apakah guru meminta maaf ketika terlambat masuk kelas? Sudahkah guru meminta maaf ketika belum sempat mengoreksi dan mengembalikan pekerjaan siswa? Atau ketika salah atau kurang jelas dalam menjelaskan suatu konsep?
Mungkin sebagian orang menganggap meminta maaf di hadapan siswa akan menurunkan kewibawaan. Pandangan semacam itu merupakan pandangan yang sangat keliru. Justru ketika seseorang mengakui kesalahan dan meminta maaf, keluhurannya akan tampak, jiwa ksatria akan terlihat. Tentu saja permintaan maaf haruslah disertai dengan kesungguhan untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama. Dengan demikian, sebenarnya pengakuan salah dan permintaan maaf dapat dijadikan cemeti diri bagi seseorang. Penanaman karakter seperti ini perlu dikembangkan di lingkungan sekolah.

9.   Tidak Suka Menolong Orang Lain
Sikap tidak suka menolong orang lain atau kurang peduli sosial mulai timbul di kalangan siswa. Budaya individualis memang sudah merambah di kalangan anak sekolah. Kebiasaan kebanyakan anak sekarang yang sering sibuk dengan dunianya sendiri, terlalu sering bergelut dengan teknologi modern (HP, komputer dan internet) telah membuat siswa kurang bersosialisasi. Dari kondisi ini, terbentuklah sikap “cuek” dan tidak peduli.
Sering kita lihat banyak orang (juga siswa) berkumpul di suatu tempat dalam acara arisan, rapat, atau keakraban, tetapi justru sibuk dengan dunianya masing-masing. Dengan HP di tangannya, mereka sibuk berkirim dan membalas SMS, membuka facebook, bermain game, atau “ngenet”. Inilah dampak dari teknologi canggih yang kini menjajah sebagian besar siswa. Kebiasaan yang telah membentuk orang menjadi egois, individualis, dan “cuek”.
Jika dibiarkan, akan memiliki generasi yang kurang peduli, kurang peka, dan kurang bisa bekerja sama dalam tim. Gurulah yang harus membiasakan anak tidak bersifat individualis. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, guru haruslah mengembangkan sikap kerja sama melalui learning community dengan menerapkan metode yang kooperatif dan kolaboratif. Dalam Permendiknas nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses disebutkan:  “proses pembelajaran harus interaktif, inspiratif,menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.” Pembelajaran yang interaktif dapat dimaknai pembelajaran yang memunculkan adanya interaksi antara siswa dan guru, siswa dan siswa, serta siswa dengan sumber belajar lainnya. Melalui pembelajaran interaktif, kemampuan afektif siswa berupa kemampuan kerja sama akan terwujud.
2.6.     Bentuk-Bentuk Penanaman Pendidikan Karakter di Sekolah
Pendidikan karakter merupakan kunci yang sangat penting di dalam membentuk kepribadian anak. Pada hakekatnya, pendidikan memiliki tujuan untuk membantu manusia menjadi cerdas dan tumbuh menjadi insan yang baik.  Sekolah dituntut untuk memainkan peran dan tanggungjawabnya untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu para siswa membentuk dan membangun karakter mereka dengan nilai-nilai yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada nilai-nilai tertentu seperti rasa hormat, tanggungjawab, jujur, peduli, dan adil dan membantu siswa untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.
Berikut ini bentuk-bentuk penanaman pendidikan karakter di sekolah:
1.     Budaya Senyum Sapa Salam
Budaya senyum, sapa, dan salam  adalah budaya untuk membiasakan diri agar selalu tersenyum, memberi salam, dan menyapa saat berinteraksi dengan orang lain. Salam yang dilakukan dengan ketulusan mampu mencairkan suasana kaku, salam dalam hal ini bukan hanya berararti berjabat tangan saja, namun seperti megucapkan salam menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Sapa yang kita ucapkan membuat suasana menjadi akrab dan hangat, sehingga lawan bicara kita merasa hargai. Dengan menyapa orang lain maka orang itu akan merasa dihargai. Di dalam salam dan sapa akan memberikan nuansa tersendiri.
Sebelum menerapkan kepada peserta didik di sekolah, tentu guru-guru harus memberi contoh terlebih dahulu dengan memperaktekkannya dengan sesama rekan guru tersebut. Dengan guru mempraktekkannya peserta didik akan melihat dan mencontohnya. Wujud kongkrit pengimplementasian budaya ini yaitu ketika pagi hari peserta didik masuk ke gerbang sekolah, guru sudah berjejer menyambut kedatangan peserta didik dengan memberikan senyuman, sapaan, dan salam kepada peserta didik.  Dengan demikian, melalui penginternalisasian nilai-nilai tersebut kepada seluruh warga sekolah secara tidak langsung karakter peserta didik dapat dibentuk kearah yang lebih baik. Selain itu, budaya  ini akan mempengaruhi citra sekolah di mata masyarakat.  sekolah yang setiap warganya mempunyai etika, moral dan karakter yang berbudi pekerti luhur dengan siapa saja dan dimana saja akan mendapatkan simpatik yang tinggi dikalangan masyarakat.  
2.    Menyanyikan Lagu Kebangsaan Sebelum Pelajaran Dimulai
Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya setiap hari diawal pembelajaran adalah bentuk penanaman nilai nasionalis pada siswa. Lagu Indonesia Raya dinyanyikan bersama-sama di dalam klas sebelum pelajaran dimulai. Setiap siswa bergilir menjadi dirigen untuk memimpin lagu tersebut. Selain untuk menanamkan nilai kebangsaan dan cinta Tanah Air ke dalam jiwa anak Indonesia sejak dini, menghafal dan menghayati lagu kebangsaan merupakan nilai yang harus terinternalisasi di alam kesadaran siswa melalui pembiasaan. Pendidikan karakter yang ditanamkan dalam kegiatan ini adalah rasa nasionalis, semangat kebersamaan, dan integritas.

3.    Berdoa Sebelum Belajar dan Sebelum Pulang
Berdoa sebelum dan sesudah belajar merupakan bentuk penanaman nilai relegius pada siswa. Doa dapat juga menjadi sugesti bagi siswa untuk belajar dengan lebih sungguh-sungguh. Saat memulai kegiatan belajar-mengajar, berdoa merupakan aktivitas yang pertama kali dilakukan. Demikian juga menjelang pulang sekolah (mengakhiri pelajaran), berdoa juga aktivitas yang terakhir kali dilakukan siswa-siswi sekolah. Cara guru membiasakan berdoa kepada siswa berbeda-beda. Ada yang berdoa dalam hati sambil menundukkan kepala, biasanya dilakukan pada kelas yang siswanya menganut agama dan kepercayaan yang beragam. Namun yang lebih banyak adalah melafalkannya bersama-sama dengan suara keras, untuk memberikan latihan dan pembiasaan kepada siswa.
Terlepas dari bagaimana cara berdoa yang dipilih, bisa dibenarkan selama esensinya adalah merendahkan diri di hadapan Allah SWT seraya memohon ridho dan keberkahan atas segala kegiatan belajar yang dilakukan, juga memohon pemahaman pada ilmu-ilmu yang dipelajari khususnya mulai masuk hingga pulang sekolah. Nilai karakter yang dimunculkan pada kegiatan ini adalah sikap relegius, dan toleransi.
4.    Mengucap Syukur Ketika Berhasil Mengerjakan Sesutu atau Selesai Melakukan Sesuatu
Bentuk penanaman nilai relegius yang lain adalah membiasakan siswa untuk bersyukur ketika berhasil mengerjakan sesuatu atau selesai melakukan kegiatan. Pembiasaan ini harus dilakukan terus menerus agar siswa terbiasa untuk bersyukur atas segala sesuatu yang diterimanya.
5.    Gerakan Literasi Sekolah
Gerakan litersi Sekolah adalah gerakan untuk membiasakan membaca dari berbagai sumber bacaan. Gerakan ini dapat dilakukan selama lima belas menit sebelum pelajaran dimulai. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah (guru, peserta didik, orang tua/wali murid) dan masyarakat, sebagai bagian dari ekosistem pendidikan. GLS memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Kegiatan rutin ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik / siswa serta dalam rangka meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan peserta didik.  Guru harus ikut terlibat dalam kegiatan literasi ini dengan hadir dan turut membaca bersama siswa di kelas. Gerakan literasi adalah bentuk penanaman nilai kreatif berpikir, rasa ingin tahu, Gemar membaca.
6.    Senam Bersama
Senam merupakan suatu aktifitas fisik yang sangat perlu diadakan secara rutin untuk menjaga kesegaran jasmani para siswa di sekolah dan merupakan salah satu aktifitas jasmani yang efektif untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan mereka. Gerakan-gerakan pada senam pagi selain melatih otot-otot pada tubuh juga melatih gerakan motorik pada anak. Dengan gerakan motorik yang terlatih, diharapkan anak, dalam hal ini siwa dapat lebih terampil dan kreatif dalam melakukan aktifitas sekolah sehari-hari. 
Pada kegiatan senam bersama ini diharapkan semua guru dan staf turut serta senam bersama siswa. Kebersamaan ketika melaksanakan kegiatan ini merupakan ajang untuk menjaga tali silaturhmi antar warga sekolah. Melalui pembiasaan dan tauladan yang baik dari dewan guru berserta staf yang ikut senam bersama akan memberikan contoh yang dapat ditiru oleh siswa.

7.    Kebersihan dan Gotong Royong
Salah satu bentuk penanaman nilai tanggung jawab dan disiplin pada siswa adalah kegiatan gotong royong kebersihan lingkungan sekolah. Kegiatan ini harus melibatkan semua warga sekolah termasuk guru dan staf tata usaha. Bapak ibu guru dan staf tata usaha bekerja sama dalam mengontrol siswa bekerja. Tanpa kontrol yang baik dari bapak ibu guru dan staf tata usaha, kegiatan ini tidak akan berjalan efektif. Kegiatan ini sebaiknya dijadwalkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah. Kegiatan gotong royong bukan hanya pada kebersihan lingkungan sekolah saja, namun dapat dilakukan pada hal-hal lain yang berhubungan dengan kegiatan sekolah, seperti gotong royong dalam melaksanakan peringatan hari-hari besar keagamaan, peringatan tujuh belas agustus, perpisahan dengan kelas Ix, bakti sosial, dan lain-lain.

8.    Piket Kelas
Piket kelas adalah bentuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada siswa. Kegiatan piket bisa dilakukan setiap hari ketika pagi hari sebelum pembelajaran dimulai atau siang hari setelah pembelajaran usai. Setiap siswa bertugas untuk membersihkan ruang kelas, seperti menyapu, menghapus papan tulis, mengambil buku di perpustakaan, menata ruang kelas agar tetap rapi, bahkan sampai mengepel. Pendidikan karakter yang ditanamkan dalam kegiatan ini adalah rasa tanggung jawab, disiplin, toleransi, dan kejujuran.

9.    Menyanyikan lagu Nasional atau Lagu Daerah.
Bentuk menanamkan rasa cinta tanah air dapat dilakukan dengan menyanyikan lagu-lagu nasional atau lagu daerah sebelum pulang sekolah. Kegiatan ini sebaiknya rutin dilakukan oleh siswa dan guru di setiap kelas dan setiap hari. Guru harus ikut aktif terlibat ketika menyanyikan lagu nasional atau lagu daerah tersebut. Kegiatan ini menanamkan rasa nasionalis dan intergritas.

10. Keteladanan
Pembelajaran atas nilai-nilai moral yang baik bisa dilakukan dengan cara yang lebih efektif yakni pemberian “role model” berupa keteladanan dan perilaku yang terpuji oleh kepala sekolah, pendidik ataupun oleh teman sebaya. Semisal berpakaian dengan rapi dan bersih dan membuang sampah pada tempatnya dengan tidak sekedar mengajarkan hal tersebut tapi juga memberikan contoh. Contoh lain Kepala sekolah, guru, dan staf tata usaha hadir tepat waktu, baik waktu datang ke sekolah, waktu masuk kelas, waktu ke luar kelas, dan waktu pulang sekolah.  Kepala sekolah, guru, dan saf tata usaha memberikan contoh terlebih dahulu dalam menegakkan disiplin disekolah. Tanpa keteladdanan yang baik, mustahil disiplin akan berjalan maksimal di sekolah.
11. Peduli Pada Setiap Bentuk Perilaku Siswa
Bentuk kepedulian ini dapat berupa peduli terhadap perilaku positif siswa maupun peduli terhadap perilaku negatif siswa. Terhadap perilaku positif siswa harus diberi apresiasi agar menambah motivasi siswa untuk berbuat yang lebih baik lagi. Terhadap perilaku negatif siswa, harus diberi peringatan atau teguran agar siswa menyadari perbuatan buruk yang dilakukannya. Kepedulian disini harus mengakar pada semua elemen yang ada di sekolah.

12. Kepedulian Sosial
Kepedulian sosial ditunjukkan ketika ada warga sekolah yang sakit atau mendapat musibah. Semua warga sekolah ikut menunjukkan rasa kepedulian terhadap masalah itu. Bentuk kongkritnya dapat berupa kunjungan (walaupun melalui perwakilan) ke warga sekolah yang mengalami sakit atau mendapat musibah tersebut.

3.         Penutup
Perilaku negatif yang terjadi di kalangan pelajar menunjukkan degradasi moral yang memprihatinkan. Hal ini perlu segera mendapat perhatian dari semua pihak, terutama lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan, khususnya sekolah harus meningkatkan perannya dalam melakukan pembinaan terhadap siswa melalui penguatan pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah upaya sunguh-sungguh guru untuk mengajarkan nilai-nilai pada siswanya agar mereka menjadi individu yang berkarakter dalam dimensi olah hati, rasa, dan karsa.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan apa yang baik itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati, serta meninggalkan apa yang buruk. Nilai-nilai karakter yang dikembangkan di sekolah mengacu pada desain pendidikan karakter yang terdiri dari lima komponen utama, yaitu: relegius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.
Dalam melaksanakan penguatan pendidikan karakter di sekolah, peran guru sangatlah penting karena guru bersentuhan langsung dengan siswanya. Guru menjadi teladan bagi siswanya. Keteladanan dari seorang guru sesungguhnya menjadi jiwa dari pendidikan karakter. Untuk menjadi teladan, guru haruslah mencintai siswanya, bersahabat, mencintai pekerjaan, luwes, dan tidak berhenti belajar.
Sekolah adalah tempat berlangsungnya pendidikan, termasuk pendidikan karakter. Semua stockholder harus terlibat secara aktif dalam melaksanakan pendidikan karakter di sekolah. Sekolah sangat berperan dalam membentuk keperibadian seorang siswa karena sekolah adalah tempat siswa bersosialisasi dengan sesama siswa, guru, staf tata usaha dan warga sekitar. 




DAFTAR PUSTAKA

Julaiha, siti. 2014. “Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran”  Dinamika Ilmu Vol. 14. No 2, Desember 2014 diakses 24-04-18 pukul 07.00 dari pencarian file:///C:/Users/USERPC/Downloads/15-908-1-PB%20(1).pdf
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Panduan Pembelajaran Untuk Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kemdikbud.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter Tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kemendikbud

Koesoema, Doni. 2011. Pendidikan Karakter; strategi Mendidik Anak. Jakarta: Grasindo.
Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter; Menjawab Tantangan krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2012. Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya.


0 komentar:

Posting Komentar