PERAN STRATEGIS LEMBAGA
PENDIDIKAN DALAM PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh Hermanudin
ABSTRAK
Artikel ini didasari fenomena prilaku
yang tidak baik terjadi pada para pelajar. Tujuan penulisan artikel ini adalah
untuk membahas pentingnya peran guru dan sekolah dalam pelaksaan pendidikan
karakter di sekolah. Metode analisis
yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan menggambarkan peran guru dan sekolah dalam melaksanakan penguatan
pendidikan karakter di sekolah dengan sumber utama kajian pustaka (Literature
review). Hasil kajian menunjukkan bahwa guru dan sekolah sangat berperan
penting dalam penguatan pendidikan karakter. Penulis berkesimpulan bahwa
peran guru dan sekolah sangat menentukan karakter siswa.
Kata kunci: Pendidikan Karakter, nilai-nilai
karakter
1. Pendahuluan
Krisis karakter
atau moralitas pada pelajar dan remaja ditandai dengan meningkatnya kejahatan
tindak kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang (narkoba), pornografi dan
pornoaksi yang terjadi di masyarakat. Salah satu bentuk tindak kekerasan yang
terjadi baru-baru ini adalah tawuran antar pelajar yang menewaskan satu orang
siswa SMK Harapan Mulya Kendal bernama Wahyu Purnomo (Tribunnews-20 Apr 2018). Bahkan siswa salah
satu sekolah dasar di Purwakarta terlibat
tawuran hanya karena gara-gara lewat tanpa permisi (PikiranRakyat- 20 April,
2018 - 23:34). Di
Sampang, Madura, seorang guru honorer tewas setelah dianiaya muridnya (Tribunnews.com, Jumat, 2 Februari
2018). Di Kota Batu Malang, hingga akhir bulan Maret 2018 tercacat ada
sekitar 60 orang yang menjalani masa rehabilitasi oleh Badan Narkotika Nasional,
80
persen adalah pelajar (MalangTimes.com-8/4/2018). Maraknya
geng motor yang sering menjurus pada tindak kekerasan yang meresahkan
masyarakat bahkan tindakan kriminal seperti pemalakan dan penganiayaan (Kompas.com-05/04/2018). Disamping
melakukan tindakan kekerasan, siswa juga berperilkau tidak jujur, hal ini
dibuktikan dengan adanya warung kejujuran yang dibuat di beberapa sekolah
mengalami kebangkrutan. Fenomena lain yang sangat mencoreng citra pelajar dan
lembaga pendidikan juga adanya pergaulan bebas (free sex) yang dilakukan oleh
para pelajar dan mahasiswa. Seperti yang dilansir oleh Sexual Behavior Survey (dalam file:///C:/Users/USERPC/Downloads/15-908-1-PB%20(1).pdf
) yang melakukan survey di 5 kota besar di Indonesia, yaitu Jabodetabek,
Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali pada bulan Mei 2011. Dari 663 responden
yang diwawancarai mengakui bahwa 39% responden remaja usia antara 15-19 tahun
pernah berhubungan seksual, sisanya 61% berusia 20-25 tahun..
Semua perilaku negatif yang terjadi di kalangan
pelajar jelas menunjukkan kurangnya moralitas dan pendidikan karakter yang baik
bagi pelajar. Salah satu penyebabnya diduga tidak optimalnya penguatan
pendidikan karakter di lembaga pendidikan. Pelaksanaan pendidikan karakter
harus dipikul oleh semua pihak, termasuk kepala sekolah, para guru, staf tata
usaha, tukang sapu, penjaga sekolah dan yang terutama lagi orang tua di rumah. Karena
luasnya permasalahan pendidikan karakter ini, maka penulis membatasi permasalahan
pada peran sekolah sebagai lembaga pendidikan dalam melaksanakan pendidikan
karakter di sekolah.
2. Pembahasan
2.1 Pengertian karakter dan Pendidikan
Karakter
Menurut Doni Koesoema (2011:104), karakter
merupakan sebuah kondisi dinamis
struktur antropologis individu, yang tidak mau sekadar berhenti atas
determinasi kodratinya, melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin
integral mengatasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya terus
menerus.
Scerenko (dalam Samani dan Hariyanto, 2012:42)
mendifinisikan karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan
membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan kompleksitas mental dari seseorang.
Samani dan Hariyanto (2012: 43) memaknai karakter sebagai nilai dasar yang
membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun
pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujutkan
dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Simon Philips
(dalam Muslich: 70), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju suatu
sistem, yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain.
Dari beberapa pengertian tersebut, karakter dapat
diartikan sebagai nilai dasar yang membangun seseorang sebagai ciri yang
membentuk sifat-sifat kejiwaan yang membedakannya dengan orang lain. Karakter dapat
juga dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas tiap individu,
baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang
berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap
mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya.
Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, adat istiadat, dan estetika yang berlaku ditengah masyarakat. Karakter
tersusun dari tiga bagian yang saling berhubungan, yakni: moral knowing (pengetahuan
moral), moral feeling (perasaan moral), dan moral behavior (perilaku
moral). Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan tentang kebaikan (knowing
the good), keinginan terhadap kebaikan (desiring the good), dan
berbuat kebaikan (doing the good).
Dalam pengertian sederhana pendidikan karakter
adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter
siswa yang diajarnya. Menurut Winton (dalam Samani dan Hariyanto, 2012: 43),
pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru
untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya. Koesoema (2011:4)
mengungkapkan bahwa pendidikan karakter diartikan sebagai sebuah bantuan sosial
agar individu itu dapat bertumbuh dan menghayati kebebasannya dalam hidup
bersama dengan orang lain dalam dunia. Samani dan dan Hariyanto (2012: 45)
mendifinisikan pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada
peserta didik untuk menjadi manusia
seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan
karsa.
Dari beberapa definisi tersebut, pendidikan karakter
dapat diartikan sebagai upaya sunguh-sungguh guru untuk mengajarkan nilai-nilai
pada siswanya agar mereka menjadi individu yang berkarakter dalam dimensi olah
hati, rasa, dan karsa.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai
pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak,
yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan
baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan apa yang baik itu dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati, serta meninggalkan apa yang buruk. Pendidikan
karakter, bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan.
2.2 Nilai-nilai Pendidikan Parakter
Muchlas Samani dan Hariyanto (2012:
46-47) mengelompokkan nilai-nilai karakter menjadi lima bagian, yaitu: 1) sikap
dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan; 2) sikap dan perilaku dalam
hubungannya dengan diri sendiri; 3) sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan
keluarga; 4) sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan masyarakat dan bangsa,
dan 5) sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan alam sekitar.
Sikap dan perilaku dalam hubungannya
dengan Tuhan antara lain: beriman, bertakwa, bersyukur, mawas diri, pemaaf,
pemurah, disiplin, dan pengabdian. Sikap dan perilku dalam hubungannya dengan
diri sendiri antara lain: bekerja keras, berani memikul resiko, berhati
lembut/berempati, berpikir matang, berpikir jauh ke depan, bersemangat,
bersikap konstruktif, bertanggung jawab, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis,
gigih, jujur, kreatif, lugas, mandiri, mawas diri, menghargai orang lain dan
lain-lain. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan keluarga antara lain:
bekerja keras, cermat, menghargai waktu, tertib, ramah tama, pemaaf, rasa kasih
sayang, rela berkorban, hormat, sabar, setia, tegas, amanah, dan lain-lain.
Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan masyarakat dan bangsa antara lain:
bekerja keras, berpikir jauh ke depan, toleran, bijaksana, jujur, pemurah,
hormt, tertib, sportif dan lain-lain. Sikap dan perilaku dalam hubungannya
dengan alam sekitar antara lain: bekerja keras, berpikir jauh ke depan,
menghargai kesehatan, pengabdian dan lain-lain.
Menurut sukamto (dalam Muslich,
2011: 79), nilai-nilai karakter yang perlu diajarkan kepada anak meliputi: Kejujuran,
Loyalitas dan dapat diandalkan, Hormat, Cinta, Ketidak egoisan dan sensitifitas,
Baik hati dan pertemanan, Keberanian, Kedamaian, Mandiri dan potensial,
Disiplin diri dan moderasi, Kesetiaan dan kemurnian, Keadilan dan kasih sayang.
Menurut konsep Pedoman Penguatan
Pendidikan Karakter Kementrian Pendidikan dan kebudayaan (Kemdikbud, 2016: 8), ada lima nilai utama Penguatan Pendidikan Karakter:
1. Relegius
Nilai
karakter religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang
diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaranagama dan kepercayaan yang dianut,
menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi sikap toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup rukun dan damai dengan
pemeluk agama lain.
Nilai
karakter religius ini meliputi tiga dimensi relasi sekaligus, yaitu hubungan
individu dengan Tuhan, individu dengan sesama, dan individu dengan alam semesta
(lingkungan). Nilai karakter religius ini ditunjukkan dalam perilaku mencintai
dan menjaga keutuhan ciptaan.
Subnilai
religius antara lain cinta damai, toleransi, menghargai perbedaan agama dan
kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama antar pemeluk agama dan
kepercayaan, antibuli dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan
kehendak, mencintai lingkungan,
melindungi yang kecil dan tersisih.
2. Nasionalis
Nilai
karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Subnilai
nasionalis antara lain apresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya
bangsa,rela berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta tanah air, menjaga
lingkungan,taat hukum, disiplin, menghormati keragaman budaya, suku,dan agama.
3. Mandiri
Nilai
karakter mandiri merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada orang lain
dan mempergunakan segala tenaga,
pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita.
Subnilai
mandiri antara lain etos kerja (kerja keras), tangguh tahan banting, daya
juang, profesional, kreatif, keberanian, dan menjadi pembelajar sepanjang
hayat.
4. Gotong Royong
Nilai
karakter gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja sama dan
bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin komunikasi dan
persahabatan, memberi bantuan/ pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan.
Subnilai
gotong royong antara lain menghargai, kerja sama, inklusif, komitmen atas
keputusan bersama, musyawarah mufakat, tolongmenolong, solidaritas, empati,
anti diskriminasi, anti kekerasan, dan sikap kerelawanan.
5. Integritas
Nilai
karakter integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku yang didasarkan
pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam
perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada
nilai-nilai kemanusiaan dan moral (integritas moral). Karakter integritas meliputi sikap tanggung
jawab sebagai warga negara, aktif terlibat dalam kehidupan sosial, melalui
konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran.
Subnilai integritas antara lain kejujuran, cinta pada kebenaran, setia,
komitmen moral, anti korupsi, keadilan, tanggungjawab, keteladanan, dan menghargai
martabat individu (terutama penyandang disabilitas).
Kelima nilai
utama karakter bukanlah nilai yang berdiri dan berkembang sendiri-sendiri
melainkan nilai yang berinteraksi satu sama lain, yang berkembang secara
dinamis dan membentuk keutuhan pribadi. Dari nilai utama manapun pendidikan
karakter dimulai, individu dan sekolah pertlu mengembangkan nilai-nilai utama
lainnya baik secara kontekstual maupun universal. Nilai religius sebagai
cerminan dari iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan secara utuh
dalam bentuk ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing dan dalam
bentuk kehidupan antarmanusia sebagai kelompok, masyarakat, maupun bangsa.
Dalam kehidupan sebagai masyarakat dan bangsa nilainilai religius dimaksud
melandasi dan melebur di dalam nilai-nilai utama nasionalisme, kemandirian,
gotong royong, dan integritas. Demikian pula jika nilai utama nasionalis
dipakai sebagai titik awal penanaman nilai-nilai karakter, nilai ini harus
dikembangkan berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang tumbuh bersama
nilai-nilai lainnya.
2.3 Peran Guru Dalam
Pendidikan karakter
Peristiwa pengajaran di dalam kelas
merupakan momen pendidikan karakter yang sangat strategis. Di dalam kelas, guru
tak ubahnya seorang manajer yang sedang mengendalikan dan mengarahkan
lingkungannya. Dalam perjumpaan antara guru dan siswa inilah terdapat proses
penanaman nilai secara lebih nyata. Mereka secara bersama-sama membentuk
komunitas belajar. Pertemuan dalam kelas terjadi secara terencana dan teratur
melalui penjadwalan mata pelajaran tertentu sesuai dengan kurikulum lembaga
pendidikan tersebut. oleh karena itu, guru memiliki peran strategis dalam
penanaman nilai pendidikan karakter. Sehubungan dengan itu, Doni Koesoema
(2011: 231-233) mengungkapkan peran guru dalam bertindak sebagai manajer di
kelas adalah sebagai berikut:
1.
Bertindak sebagai pengasuh, teladan, dan
pembimbing.
Guru harus memperlakukan siswa
dengan penuh cinta dan rasa hormat, mengondisikan terciptanya keteladanan yang
baik, mendukung prilaku sosial yang positif, memperbaiki perilaku yang merusak.
2.
Menciptakan sebuah komunitas moral.
Guru semestinya membantu setiap
siswa untuk dapat saling menghargai satu sama lain, memiliki rasa hormat, saling
mengasuh satu sama lain, merasakan diri sebagai bagian dalam kelompok dan
bertanggung jawab atas kelompoknya.
3.
Menegakkan disiplin moral melalui pelaksanaan
kesepakatan yang telah ditentukan sebagai aturan main bersama.
4.
Menciptakan sebuah lingkungan kelas yang
demokratis, dengan cara melibatkan siswa dalam mengambil keputusan dan
bertanggung jawab bagi terbentuknya kelas sebagai tempat belajar yang
menyenangkan
5.
Mengajarkan nilai-nilai melalui kurikulum dengan
cara menggali isi materi pembelajaran dari mata pelajaran yang sangat kaya
dengan nilai-nilai moral, seperti sastra, sejarah, teknologi dan sains, dan
kewarganegaraan sebagai saarana bagi pengajaran nilai-nilai moral dan membahas
persoalan-persoalan moral.
6.
Menggunakan metode pembelajaran melalui
kerjasama agar siswa mampu mengembangkan kemampuan mereka dalam memberikan
apresiasi atas pendapat orang lain, berani memiliki pendapat sendiri, mampu dan
mau bekerja sama dengan yang lain demi berhasilnya tujuan bersama.
7.
Membangun sebuah rasa ‘tanggung jawab
pembentukan diri’ dalam diri siswa dengan cara memberikan penghargaan atas
kesediaan para siswa untuk belajar, menyemangati kemampuan mereka untuk dapat
bekerja keras, memiliki komitmen pada keunggulan, dan penghayatan akan nilai
kerja yang dapat memengaruhi kehidupan orang lain.
8.
Mengajak siswa agar berani memikirkan dan
mengolah persoalan yang berkaitan dengan konflik moral, melalui bacaan,
penelitian, penulisan esai, kliping koran, diskusi dan lain-lain.
9.
Melatih siswa untuk belajar memecahkan konflik
yang muncul secara adil dan damai tanpa kekerasan sehingga para siswa
memperoleh keterampilan moral esensial ketika harus menghadapi perssoalan
serupa di dalam hidup mereka.
Guru
adalah profesi yang mulia, mendidik dan mengajarkan pengalaman baru bagi anak
didiknya. Siswa banyak belajar dari apa yang dilihat dan didengar, untuk itu
perlu ada contoh teladan yang baik.
Keteladanan dari seorang guru sesungguhnya menjadi jiwa dari pendidikan
karakter. Masnur Muslich (2011: 56-57) memberikan tips menjadi guru berkarakter
yang hebat sebagai berikut:
1.
Mencintai anak.
Cinta yang tulus kepada anak adalah
modal awal mendidik anak. Guru menerima anak didiknya apa adanya, mencintai
tanpa syarat dan mendorong anak untuk melakukan yang terbaik pada dirinya.
Penampilan yang penuh cita adalah dengan senyum, sering tampak bahagia dan
menyenangkan, dan berpandangan hidup yang positif.
2.
Bersahabat dengan anak dan menjadi teladan bagi
anak
Guru harus bisa digugu dan ditiru
oleh anak. Oleh karena itu, setiap apa yang diucapkan di hadapan anak harus
benar, cara penyampaian harus menyenangkan dan beradab. Anak senantiasa
mengamati perilaku gurunya dalam setiap kesempatan.
3.
Mencintai pekerjaan guru.
Guru yang mencintai pekerjaannya
akan senantiasa bersemangat. Setiap tahun ajaran baru adalah dimulainya suatu
kebahagiaan dan satu tantangan baru. Guru yang hebat tidak merasa bosan dan
terbebani. Guru yang hebat akan mencintai anak didiknya satu persatu, memahami
kemampuan akademisnya, kepribadiannya, kebiasaannya, dan kebiasaan belajarnya.
4.
Luwes dan mudah beradaptasi dengan perubahan.
Guru harus terbuka dengan teknik
mengajar, membuang rasa sombong dan selalu mencari ilmu. Ketika masuk ke kelas,
guru harus dengan pikiran terbuka dan tidak ragu mengevaluasi gaya mengajarnya
sendiri, dan siap berubah jika diperlukan.
5.
Tidak pernah berhenti belajar.
Dalam rangka meningkatkan
profesionalitasnya, guru harus selalu belajar dan belajar. Kebiasaan membaca
buku sesuai dengan bidang studinya dan mengkases iformasi aktual yang
diperlukan.
2.4. Peran Lembaga Pendidikan
Dalam Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter di lembaga pedidikan
terintegrasi dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Penumbuhan budi pekerti
secara terintegrasi dalam pembelajaran dilakukan selama proses pembelajaran
berlangsung baik di dalam maupun di luar kelas. Selama proses pembelajaran,
siswa berinteraksi dengan bahan ajar, dengan guru, dan antar sesama siswa
melalui berbagai aktivitas belajar (kemdikbud, 2017:19). Melalui interaksi dengan
substansi bahan ajar, siswa memperoleh pengetahuan tentang nilai (moral knowing). Sementara itu, melalui
interaksinya dengan guru dan sesama siswa dalam berbagai kegiatan pembelajaran,
para siswa akan memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai moral yang baik lebih
mendalam dan meresapi pentingnya nilai-nilai (moral feeling) serta tumbuh perilaku sehari-hari yang dilandasi
oleh nilai-nilai budi pekerti yang baik tersebut (moral action). Proses pembelajaran yang menumbuhkan budi pekerti
perlu dirancang dengan cermat, dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, dan dievaluasi
terus-menerus secara menyeluruh. Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) harus dengan sengaja dirancang untuk pembelajaran yang tidak hanya
menjadikan siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga yang
menumbuhkan budi pekerti. Selanjutnya kegiatan-kegiatan pembelajaran yang
menantang dan menyenangkan yang telah dirancang dalam RPP dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Akhirnya perkembangan budi pekerti siswa diikuti dan difasilitasi terus-menerus
hingga secara konsisten menampilkan budi pekerti yang dilandasi oleh
nilai-nilai moral yang baik.
Pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di
Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber
dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi
muda. Berdasarkan grand desain yang dikembangkan Kemendiknas, secara psikologis
dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari
seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik)
dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan
masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter ini dapat
dikelompokkan ke dalam: 1. Olah hati (spritual
and emotional development), 2. Olah pikir (intellectual development), 3. Olah raga dan kinestetik (physical and kinesthetic development),
dan 4. Olah rasa dan karsa (affective and
creativity development). Keempat hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama
lainnya, bahkan saling melengkapi dan
saling terkait.
Pendidikan karakter dalam setting sekolah
didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan
pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu
yang dirujuk oleh sekolah. Definisi ini mengandung makna:
1. Pendidikan karakter merupakan pendidikan
yang terintegrasi dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran.
2. Diarahkan pada penguatan dan pengembangan
perilaku anak secara utuh
3.
Penguatan dan pengembangan perilaku
didasari oleh nilai yang dirujuk sekolah/lembaga.
Dengan demikian pendidikan karakter merupakan proses
pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang
berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga serta rasa dan karsa. Karakter
tersebut diharapkan menjadi kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan
dari olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa/karsa.
Sekolah, jika dijiwai dengan semangat pendidikan
karakter akan menjadi tempat yang efektif bagi pembentukan individu sehingga
mereka menjadi pribadi yang tumbuh dengan baik. Lingkungan sekolah dapat
menjadi tempat pendidikan yang baik bagi pertumbuhan karakter siswa. Sekolah menjadi tempat penanaman nilai-nilai,
penumbuhkembangan karakter, sehingga siswa menjadi individu yang bertanggung
jawab. Untuk itu, patutlah ditelaah momen-momen apa saja yang dapat dijadikan locus education pendidikan karakter di
dalam lembaga pendidikan. Doni Koesoema (2011: 222) merinci locus education pendidikan karakter di
sekolah sebagai berikut:
1. Sekolah
sebagai wahana aktualisasi nilai.
Sekolah dapat menjadi wahana utama untuk menanamkan
nilai-nilai moral universal pada siswanya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan
memiliki fungsi strategis dalam mengembangkan sebuah penciptaan lingkungan
sekolah yang menghargai kultur yang hormat terhadap nilai-nilai moral. Sekolah
bisa menjadi kesempatan yang baik bagi guru untuk membuktikan kinerja dan
integritas profesional mereka sehingga mereka mampu memposisikan diri sebagai
model keteladanan para siswa.
2. Setiap perjumpaan adalah momen pendidikan nilai.
Setiap perjumpaan sesungguhnya merupakan momen untuk
menanamkan pendidikan nilai-nilai karakter, karena itu setiap individu di dalam
lingkungan sekolah sesungguhnya merupakan partner, rekan kerja harus saling
mendukung dan menghargai satu sama lain. sekolah semestinya menciptakan sebuah
kultur kehidupan moral dengan cara menggemakan terus menerus ethos sekolah,
melalui kepemimpinan kepala sekolah, kedisiplinan, rasa bersama sebagai satu
anggota komunitas sekolah.
3. Wawasan Wiyatamandala Pada Masa orientasi Sekolah.
Prinsip dasar Masa Orientasi Sekolah (MOS) adalah bahwa kegiatan ini merupakan sarana
integrasi, pengenalan, dan penggalian kreativitas siswa baru sehingga sekolah
dapat mendampingi dan mengembangkan bakat-bakat siswa tersebut. MOS merupakan
pengenalan sekitar kehidupan sekolah, kultur, dan nilai-nilai positif lainnya
yang sudah berjalan selama ini.
4. Manajemen Kelas.
Manajemen kelas diartikan sebagai pengelolaan kelas,
yakni tata hubungan timbal balik antar individu yang ada dalam kelas tesebut. Peristiwa
pengajaran di dalam kelas merupakan momen pendidikan karakter yang sangat
strategis. Di dalam kelas, guru tak ubahnya seorang manajer yang sedang
mengendalikan dan mengarahkan lingkungannya. Dalam perjumpaan antara guru dan
siswa inilah terdapat proses penanaman nilai secara lebih nyata.
5. Penegakan kedisiplinan di sekolah.
Permasalahan utama yang sering dibahas dalam kerangka
pendidikan karakter adalah pesoalan kedisiplinan di sekolah. Disiplin sekolah
menurut F.W. Foester (dalam Koesoema, 2011: 233) merupakan keseluruhan ukuran bagi
tindakan-tindakan yang menjamin kondisi moral yang diperlukan sehingga proses
pendidikan berjalan lancar dan tidak terganggu. Jika di sekolah lebih banyak
memberikan analisis sosial tentang pemberian hukuman pidana bagi siswa, tidak
akan mampu memberikan pembentukan kepribadian yang sifatnya lebih positif. Penegakan
disiplin di sekolah mengacu pada pembentukan sebuah lingkungan yang di dalamnya
aturan bersama itu dihormati dan siapa pun yang melanggar mesti berani
mempertanggungjawabkannya. Setiap pelanggaran atas kepentingan umum di dalam
sekolah mesti diganjar dengan hukuman yang mendidik sehingga siswa mampu
memahami bahwa nilai disiplin itu demi stabilitas dan kedamaian hidup bersama.
6. Pendampingan perwalian
Wali kelas memiliki peran yang sangat penting bagi
pendidikan karakter di kelas, karena ia yang paling bertanggung jawab terhadap
berhasil tidaknya komunitas kelas yang dipimpinnya. Wali kelas mempunyai
kesempatan yang luas untuk melakukan pembinaan terhadap kelasnya. Pembinaan ini
sangat penting untuk pembentukan karakter siswa. Wali kelas mempunyai akses
kepada orang tua siswa untuk bekerja sama dalam membentuk karakter siswa.
7. Pendidikan Agama bagi pembentukan karakter
Pendidikan karakter tidak dapat lepas dari pendidikan
agama. Sebaliknya, pendidikan karakter
di sekolah semestinya meningkatkan iman dan kepercayaan seseorang, membuatnya
menjadi manusia taqwa, sekaligus menjadikan manusia Indonesia seutuhnya, mampu
berbakti, berjuang, dan bekerjasama demi kepentingan masyarakat dan bangsa.
8. Pendidikan jasmani bagi pendidikan karakter.
Pendidikan jasmani dalam rangka pendidikan karakter
terutama tertuju pada proses pembentukan perilaku dan sikap. Keterlibatan dalam
olah raga akan memberikan dampak positif bagi siswa terutama dalam mengurangi
perilaku yang beresiko secara sosial, mabuk-mabukan dan miras. Olah raga dapat
meningkatkan rasa percaya diri pada siswa. Men sana in corporisano.
9. Mengembangkan kurikulum secara integral.
Kurikulum yang dikembangkan di sekolah akan menjadi
penentu kualitas lembaga pendidik tersebut. sebab, ancangan kurikulum inilah
yang akan menentukan apakah pendidikan siswa di sekolah itu memiliki integrasi
dan keutuhan sehingga mampu menjadi sarana bagi siswa untuk mengembangkan
kemampuan akademis dan kompetensi sosialnya secara utuh.
10. Pendidikan Kehendak melalui pengalaman.
Pendidikan di sekolah haruslah menyeimbangkan
pendidikan intelektual dengan pendidikan moral. Pendidikan intelektual tanpa disertai dengan pendidikan
moral bisa membutakan siswa dari kebenaran. Siswa yang cerdas secara
intelektual tetapi kurang mendapat pendidikan moral akan cenderung mengutamakan
keinginannya sendiri dan sulit berbagi dengan teman-temannya di sekolah. Oleh
karena itu, pendidikan intelektual haruslah diimbangi dengan pendidikan moral.
Berbagai macam program pengenalan langsung tentang kehidupan masyarakat
mestinya menjadi bagian dari kinerja pendidikan di sekolah jika sekolah ingin
sungguh-sungguh menanamkan karakter dalam diri anak didik mereka.
2.5. Bentuk-Bentuk
Penyimpangan yang Terjadi di Sekolah
Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah
berperan besar dalam membentuk dan menanamkan pendidikan karakter pada siswa di
sekolah. Namun demikian ada hal-hal yang disadari atau tidak, telah terjadi
pembiaran yang memberikan dampak tidak
baik bagi siswa sehingga terbentuk prilaku yang kurang terpuji. Hal-hal
tersebut diantaranya adalah:
1.
Kepala Sekolah Tidak Memberikan Contoh Teladan
yang Baik
Kepala sekolah memiliki peran yang sangat penting
dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah, terutama dalam mengkoordinasikan,
menggerakkan, dan menyelaraskan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Kepala
sekolah menjadi penentu ciri khas suatu sekolah. Jika seorang kepala sekolah memiliki karakteristik
kepemimpinan yang baik dan mampu mentransformasikan kepada guru, tenaga
kependidikan, dan peserta didik maka secara langsung maupun tidak langsung akan
membangkitkan dan menumbuhkan jiwa, nalar, dan karakter yang baik pada semua
warga sekolah. Namun jika seorang kepala sekolah tidak memiliki karakter
kepemimpinan yang baik maka yang terjadi adalah sebaliknya. Sehubungan dengan
itu, masih ada ditemui kepala sekolah yang tidak memberikan contoh teladan yang
baik pada warga sekolah, seperti:
o Datang terlambat.
o Pulang duluan dengan berbagai alasan.
o Tidak Konsisten dengan yang disampaikan.
o Otoriter dalam memimpin.
o Tidak tegas dalam mengambil keputusan
atau tindakan.
o Merokok di lingkungan sekolah.
o Tidak dapat mengontrol emosi di depan
warga sekolah.
o Tidak tuntas dalam menyelesaikan
permasalahan anak.
o Kurang menjalin kerjasama dengan
masyarakat sekitar.
o Kurang transparan dalam mengelola
keuangan sekolah.
o Bersifat arogan
o Dan lain-lain
2.
Guru Tidak Memberi Contoh yang Baik
Guru merupakan sosok yang menjadi panutan siswa di
sekolah. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan guru akan dilihat dan dicontoh
oleh siswanya. Sudah seharusnya guru
memberikan contoh dan teladan yang baik. Namun demikian masih sering ditemui
guru yang tidak memberikan contoh teladan yang baik. Ada beberapa perilaku guru
yang tidak baik dan kadang terjadi di sekolah, antara lain:
o
Guru merokok di kelas dan dilingkungan sekolah.
o
Guru
datang terlambat datang ke sekolah.
o
Guru terlambat masuk ke kelas
o
Guru pulang duluan
o
Guru cepat keluar dari ruangan
o
Guru hanya memberikan catatan ketika jam
pelajaran berlangsung sementara dia duduk-duduk di kantor
o
Guru tidak memberikan tugas ketika tidak bisa
masuk kelas
o
Guru cenderung untuk bersikap otoriter dan ingin
“menggurui”
o
Guru tidak memperlihatkan kepribadian yang
fleksibel.
o
Guru membuang sampah tidak pada tempatnya
o
Guru cendrung menyuruh siswa melakukan pekerjaan
yang tidak ada hubungannya dengan pembelajaran.
o
Guru tidak selaras ucapan dan perbuaannya.
o
Terjadi persaingan yang tidak sehat di sekolah
yang dapat memberikan contoh yang tidak baik pada siswa.
o
Guru tidak dapat mengontrol emosi
o
Sering menggunakan kata-kata yang kurang pantas
diucapkan ketika berhadapan dengan siswa.
o
Bersifat arogan
o
Dan lain-lain
3. Memberi Hukuman yang Tidak Menyelesaikan Masalah.
Menjadi guru
memang bukan pekerjaan yang mudah. Butuh kesabaran yang luar biasa untuk dapat
mengendalikan emosi dalam mengontrol para siswa. Memang selalu ada-ada saja
ulah siswa yang menjengkelkan, dari yang sering terlambat, ribut di kelas,
menyontek, lupa mengerjakan PR, dsb. Dalam hal ini, dapat dimengerti jika guru
menggunakan metode hukuman untuk dapat lebih mudah mengontrol, mengendalikan
perilaku siswa, sekaligus memberikan efek jera dan
bentuk peringatan bagi anak-anak yang lain. Di satu sisi, hukuman
memang cara yang paling praktis untuk membuat siswa berhenti melakukan
kenakalan. Namun di sisi lain, apakah hukuman yang diberikan betul-betul
dapat menyelesaikan masalah?
Dalam konteks
ini perlu mengevaluasi penerapan "hukuman" sebagai alat kontrol
di dalam kelas. Terutama pada siswa yang sedang dalam umur-umur
krusial untuk menumbuhkan rasa kecintaan mereka terhadap sebuah ilmu. Memberi
hukuman bisa jadi tepat jika proses itu memberikan pengertian bagi siswa
bahwa tindakan dia itu keliru. Berilah hukuman jika itu membuat siswa memahami
konsekuensi dan risiko yang relevan dari tindakannya. Akan jauh lebih baik
lagi, jika bentuk hukuman, teguran, sanksi, atau perintah dari guru tersebut
berorientasi pada penyelesaian akar masalah yang sesungguhnya, bukan sekadar
menjadi bentuk cara untuk mengontrol, memberi efek jera, memberi contoh pada
siswa lain, apalagi hanya untuk sekadar
melampiaskan emosi dan kejengkelan terhadap murid tersebut.
4. Sikap Tutup Mata Terhadap
Perilaku Menyimpang Siswa
Sudah
seharusnya kepala sekolah, guru, dan staf tata usaha memberi peringatan atau
teguran terhadap perbuatan siswa yang dianggap tidak baik yang terjadi di
lingkungan sekolah agar mereka menyadari perbuatan tersebut. Tetapi sering
terjadi ketidakpedualian terhadap perbuatan tidak baik tersebut. Bentuk
ketidakpedulian itu antara lain:
o
Siswa membolos kurang diperhatikan.
o
Siswa tidak melaksanakan piket dibiarkan.
o
Siswa membuang sampah sembarangan tidak dilarang.
o
Siswa ribut dalam kelas kurang dipedulikan.
o
Siswa berkelahi tidak diselesaikan sampai
tuntas.
o
Siswa merokok di kelas tidak diselesaikan.
o
Siswa terlambat masuk dibiarkan.
o
Siswa sering ke luar kelas ketika jam pelajaran
berlangsung dibiarkan.
o
Siswa tidak membuat tugas dibiarkan.
o
Siswa melanggar tata tertib sekolah kurang
diperhatikan.
o
Dan lain-lain.
5. Peran Wali Kelas yang Tidak
Maksimal
Wali kelas
bertanggung jawab terhadap kelas yang dibinanya. Wali kelas harus membina siswa
yang dibawa perwaliannya. Untuk itu, ia harus cepat tanggap terhadap semua
persoalan yang terjadi di kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Hal yang kadang
terjadi adalah wali kelas kurang menjalankan peran perwaliannya dalam membina
siswa yang menjadi tanggung jawabnya tersebut. Hal itu tentu berdampak tidak baik bagi siswa
binaannya. Bentuk ketidak pedulian itu antara lain:
o
Wali kelas kurang memahami perkembangan prestasi
siswa di kelasnya.
o
Wali kelas kurang memberikan perhatian terhadap
kehadiran siswa di kelasnya.
o
Wali kelas kurang memperhatikan permasalahan
yang terjadi di kelasnya.
o
Wali kelas kurang menjalin kerjasama dengan
orang tua siswa binaannya.
o
Wali kelas kurang memperhatikan jurnal kelasnya
o
Dan lai-lain.
6. Peran Guru Bimbingan
Konseling yang Tidak Maksimal
Guru
Bimbingan konseling (BK) sangat berperan besar dalam membentuk kepribadian
siswa di sekolah. Guru BK bukan hanya membina siswa yang bermasalah saja,
tetapi juga membina siswa yang berprestasi dalam bidang-bidang tertentu. Pada
kurikulum 2013, guru BK memberikan penilaian sikap untuk direkomendassikan
kepada wali kelas dalam penentuan kenaikan kelas (Kemdikbud, 2016: 22).
Sehubungan dengan itu, sudah seharusnya guru BK berperan aktif dalam membina
siswa di sekolahnya. Tetapi masih ditemukan guru BK yang tidak menjalankan
tugas sebagaimana mestinya, seperti:
o
Guru BK hanya membina siswa yang bermasalah
saja.
o
Guru BK tidak menjalin kerjasama yang baik
dengan wali kelas.
o
Guru BK kurang menjalin kerjasama dengan orang
tua siwa.
o
Guru BK saling lempar tanggung jawab dengan wali
kelas.
o
Guru BK kurang memahami tugas dan tanggung
jawabnya sebagai konselor.
o
Dan lain-lain.
7. Gerakan Literasi
Sekolah yang Tidak Berjalan Maksimal.
Potret buram yang
banyak terjadi di sekolah adalah tidak suka minta maaf jika melakukan
kesalahan. Ini bukan hanya terjadi pada siswa tetapi juga terjadi pada guru. Guru
sering menegur siswa yang memakai
pakaian kurang rapi, bertanya mengapa terlambat, atau mengapa tidak mengerjakan
PR. Semua yang dilakukan siswa adalah kesalahan, namun amat jarang siswa yang
meminta maaf secara spontan. Yang mereka lakukan ketika terlambat atau tidak
mengerjakan tugas adalah terburu-buru menyampaikan berbagai alasan untuk
menutupi kesalahannya. Bapak ibu guru juga sering melakukan hal yang sama.
Ketika terlambat masuk ke kelas, bukannya meminta maaf pada siswa karena
terlambat, tetapi buru-buru menyampaikan alasan mengapa terlambat.
Lalu, mengapa
para siswa atau pun guru agak sulit meminta maaf jika melakukan kesalahan?
Sebagai guru, wajib berwas-was. Jangan jangan karena gurunya juga jarang
meminta maaf di hadapan para siswa. Contoh konkret, guru dapat bertanya pada
diri sendiri, apakah guru meminta maaf ketika terlambat masuk kelas? Sudahkah
guru meminta maaf ketika belum sempat mengoreksi dan mengembalikan pekerjaan
siswa? Atau ketika salah atau kurang jelas dalam menjelaskan suatu konsep?
Mungkin
sebagian orang menganggap meminta maaf di hadapan siswa akan menurunkan
kewibawaan. Pandangan semacam itu merupakan pandangan yang sangat keliru.
Justru ketika seseorang mengakui kesalahan dan meminta maaf, keluhurannya akan
tampak, jiwa ksatria akan terlihat. Tentu saja permintaan maaf haruslah disertai
dengan kesungguhan untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama. Dengan
demikian, sebenarnya pengakuan salah dan permintaan maaf dapat dijadikan cemeti
diri bagi seseorang. Penanaman karakter seperti ini perlu dikembangkan di
lingkungan sekolah.
9. Tidak Suka Menolong Orang Lain
Sikap tidak
suka menolong orang lain atau kurang peduli sosial mulai timbul di kalangan
siswa. Budaya individualis memang sudah merambah di kalangan anak sekolah.
Kebiasaan kebanyakan anak sekarang yang sering sibuk dengan dunianya sendiri,
terlalu sering bergelut dengan teknologi modern (HP, komputer dan internet)
telah membuat siswa kurang bersosialisasi. Dari kondisi ini, terbentuklah sikap
“cuek” dan tidak peduli.
Sering kita
lihat banyak orang (juga siswa) berkumpul di suatu tempat dalam acara arisan,
rapat, atau keakraban, tetapi justru sibuk dengan dunianya masing-masing.
Dengan HP di tangannya, mereka sibuk berkirim dan membalas SMS,
membuka facebook, bermain game, atau “ngenet”. Inilah dampak dari
teknologi canggih yang kini menjajah sebagian besar siswa. Kebiasaan yang telah
membentuk orang menjadi egois, individualis, dan “cuek”.
Jika
dibiarkan, akan memiliki generasi yang kurang peduli, kurang peka, dan kurang
bisa bekerja sama dalam tim. Gurulah yang harus membiasakan anak tidak
bersifat individualis. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, guru
haruslah mengembangkan sikap kerja sama melalui learning community dengan menerapkan metode yang kooperatif dan kolaboratif. Dalam
Permendiknas nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses
disebutkan: “proses pembelajaran harus interaktif,
inspiratif,menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan
fisik serta psikologis peserta didik.” Pembelajaran yang interaktif dapat
dimaknai pembelajaran yang memunculkan adanya interaksi antara siswa dan guru,
siswa dan siswa, serta siswa dengan sumber belajar lainnya. Melalui pembelajaran interaktif, kemampuan afektif siswa berupa
kemampuan kerja sama akan terwujud.
2.6. Bentuk-Bentuk Penanaman Pendidikan
Karakter di Sekolah
Pendidikan
karakter merupakan kunci yang sangat penting di dalam membentuk kepribadian
anak. Pada hakekatnya, pendidikan memiliki tujuan untuk membantu manusia
menjadi cerdas dan tumbuh menjadi insan yang baik. Sekolah dituntut
untuk memainkan peran dan tanggungjawabnya untuk menanamkan dan mengembangkan
nilai-nilai yang baik dan membantu para siswa membentuk dan membangun karakter
mereka dengan nilai-nilai yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk
memberikan tekanan pada nilai-nilai tertentu seperti rasa hormat,
tanggungjawab, jujur, peduli, dan adil dan membantu siswa untuk memahami,
memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka
sendiri.
Berikut ini bentuk-bentuk
penanaman pendidikan karakter di sekolah:
1.
Budaya Senyum Sapa Salam
Budaya senyum,
sapa, dan salam adalah budaya untuk
membiasakan diri agar selalu tersenyum, memberi salam, dan menyapa saat
berinteraksi dengan orang lain. Salam yang dilakukan dengan ketulusan mampu
mencairkan suasana kaku, salam dalam hal ini bukan hanya berararti berjabat
tangan saja, namun seperti megucapkan salam menurut agama dan kepercayaan
masing-masing. Sapa yang kita ucapkan membuat suasana menjadi akrab dan hangat,
sehingga lawan bicara kita merasa hargai. Dengan menyapa orang lain maka orang
itu akan merasa dihargai. Di dalam salam dan sapa akan memberikan nuansa
tersendiri.
Sebelum
menerapkan kepada peserta didik di sekolah, tentu guru-guru harus memberi
contoh terlebih dahulu dengan memperaktekkannya dengan sesama rekan guru
tersebut. Dengan guru mempraktekkannya peserta didik akan melihat dan
mencontohnya. Wujud kongkrit pengimplementasian budaya ini yaitu ketika pagi
hari peserta didik masuk ke gerbang sekolah, guru sudah berjejer menyambut
kedatangan peserta didik dengan memberikan senyuman, sapaan, dan salam kepada
peserta didik. Dengan demikian, melalui
penginternalisasian nilai-nilai tersebut kepada seluruh warga sekolah secara
tidak langsung karakter peserta didik dapat dibentuk kearah yang lebih baik.
Selain itu, budaya ini akan mempengaruhi
citra sekolah di mata masyarakat. sekolah yang setiap warganya mempunyai etika,
moral dan karakter yang berbudi pekerti luhur dengan siapa saja dan dimana saja
akan mendapatkan simpatik yang tinggi dikalangan masyarakat.
2.
Menyanyikan Lagu Kebangsaan Sebelum Pelajaran Dimulai
Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya setiap hari
diawal pembelajaran adalah bentuk penanaman nilai nasionalis pada siswa. Lagu
Indonesia Raya dinyanyikan bersama-sama di dalam klas sebelum pelajaran
dimulai. Setiap siswa bergilir menjadi dirigen untuk memimpin lagu tersebut. Selain
untuk menanamkan nilai kebangsaan dan cinta Tanah Air ke dalam jiwa anak
Indonesia sejak dini, menghafal dan menghayati lagu kebangsaan merupakan nilai
yang harus terinternalisasi di alam kesadaran siswa melalui pembiasaan.
Pendidikan karakter yang ditanamkan dalam kegiatan ini adalah rasa nasionalis,
semangat kebersamaan, dan integritas.
3.
Berdoa Sebelum Belajar dan Sebelum Pulang
Berdoa sebelum
dan sesudah belajar merupakan bentuk penanaman nilai relegius pada siswa. Doa
dapat juga menjadi sugesti bagi siswa untuk belajar dengan lebih
sungguh-sungguh. Saat memulai kegiatan belajar-mengajar, berdoa merupakan
aktivitas yang pertama kali dilakukan. Demikian juga menjelang pulang sekolah
(mengakhiri pelajaran), berdoa juga aktivitas yang terakhir kali dilakukan
siswa-siswi sekolah. Cara guru membiasakan berdoa kepada siswa berbeda-beda.
Ada yang berdoa dalam hati sambil menundukkan kepala, biasanya dilakukan pada
kelas yang siswanya menganut agama dan kepercayaan yang beragam. Namun yang
lebih banyak adalah melafalkannya bersama-sama dengan suara keras, untuk
memberikan latihan dan pembiasaan kepada siswa.
Terlepas dari
bagaimana cara berdoa yang dipilih, bisa dibenarkan selama esensinya adalah
merendahkan diri di hadapan Allah SWT seraya memohon ridho dan keberkahan atas
segala kegiatan belajar yang dilakukan, juga memohon pemahaman pada ilmu-ilmu
yang dipelajari khususnya mulai masuk hingga pulang sekolah. Nilai
karakter yang dimunculkan pada kegiatan ini adalah sikap relegius, dan
toleransi.
4.
Mengucap Syukur Ketika Berhasil Mengerjakan Sesutu
atau Selesai Melakukan Sesuatu
Bentuk
penanaman nilai relegius yang lain adalah membiasakan siswa untuk bersyukur
ketika berhasil mengerjakan sesuatu atau selesai melakukan kegiatan. Pembiasaan
ini harus dilakukan terus menerus agar siswa terbiasa untuk bersyukur atas
segala sesuatu yang diterimanya.
5.
Gerakan Literasi Sekolah
Gerakan
litersi Sekolah adalah gerakan untuk membiasakan membaca dari berbagai sumber
bacaan. Gerakan ini dapat dilakukan selama lima belas menit sebelum pelajaran
dimulai. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah upaya menyeluruh yang melibatkan
semua warga sekolah (guru, peserta didik, orang tua/wali murid) dan masyarakat,
sebagai bagian dari ekosistem pendidikan. GLS memperkuat gerakan penumbuhan
budi pekerti sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Kegiatan rutin ini dilaksanakan untuk
menumbuhkan minat baca peserta didik / siswa serta dalam rangka meningkatkan
keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi
baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan
global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan peserta didik. Guru harus ikut terlibat dalam kegiatan
literasi ini dengan hadir dan turut membaca bersama siswa di kelas. Gerakan
literasi adalah bentuk penanaman nilai kreatif berpikir, rasa ingin tahu, Gemar
membaca.
6.
Senam Bersama
Senam merupakan
suatu aktifitas fisik yang sangat perlu diadakan secara rutin untuk menjaga
kesegaran jasmani para siswa di sekolah dan merupakan salah satu aktifitas
jasmani yang efektif untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Gerakan-gerakan pada senam pagi selain melatih otot-otot pada tubuh juga
melatih gerakan motorik pada anak. Dengan gerakan motorik yang terlatih,
diharapkan anak, dalam hal ini siwa dapat lebih terampil dan kreatif dalam
melakukan aktifitas sekolah sehari-hari.
Pada kegiatan
senam bersama ini diharapkan semua guru dan staf turut serta senam bersama
siswa. Kebersamaan ketika melaksanakan kegiatan ini merupakan ajang untuk
menjaga tali silaturhmi antar warga sekolah. Melalui pembiasaan dan tauladan
yang baik dari dewan guru berserta staf yang ikut senam bersama akan memberikan
contoh yang dapat ditiru oleh siswa.
7.
Kebersihan dan Gotong Royong
Salah satu bentuk penanaman
nilai tanggung jawab dan disiplin pada siswa adalah kegiatan gotong royong
kebersihan lingkungan sekolah. Kegiatan ini harus melibatkan semua warga
sekolah termasuk guru dan staf tata usaha. Bapak ibu guru dan staf tata usaha
bekerja sama dalam mengontrol siswa bekerja. Tanpa kontrol yang baik dari bapak
ibu guru dan staf tata usaha, kegiatan ini tidak akan berjalan efektif.
Kegiatan ini sebaiknya dijadwalkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing
sekolah. Kegiatan gotong royong bukan hanya pada kebersihan lingkungan sekolah
saja, namun dapat dilakukan pada hal-hal lain yang berhubungan dengan kegiatan
sekolah, seperti gotong royong dalam melaksanakan peringatan hari-hari besar
keagamaan, peringatan tujuh belas agustus, perpisahan dengan kelas Ix, bakti
sosial, dan lain-lain.
8.
Piket Kelas
Piket kelas adalah bentuk menanamkan rasa tanggung
jawab kepada siswa. Kegiatan piket bisa dilakukan setiap hari ketika pagi hari
sebelum pembelajaran dimulai atau siang hari setelah pembelajaran usai. Setiap
siswa bertugas untuk membersihkan ruang kelas, seperti menyapu, menghapus papan
tulis, mengambil buku di perpustakaan, menata ruang kelas agar tetap rapi,
bahkan sampai mengepel. Pendidikan karakter yang ditanamkan dalam kegiatan ini
adalah rasa tanggung jawab, disiplin, toleransi, dan kejujuran.
9.
Menyanyikan lagu Nasional atau Lagu Daerah.
Bentuk menanamkan rasa cinta tanah air dapat dilakukan
dengan menyanyikan lagu-lagu nasional atau lagu daerah sebelum pulang sekolah.
Kegiatan ini sebaiknya rutin dilakukan oleh siswa dan guru di setiap kelas dan
setiap hari. Guru harus ikut aktif terlibat ketika menyanyikan lagu nasional
atau lagu daerah tersebut. Kegiatan ini menanamkan rasa nasionalis dan
intergritas.
10. Keteladanan
Pembelajaran
atas nilai-nilai moral yang baik bisa dilakukan dengan cara yang lebih efektif
yakni pemberian “role model” berupa keteladanan dan perilaku yang terpuji
oleh kepala sekolah, pendidik ataupun oleh teman sebaya. Semisal berpakaian
dengan rapi dan bersih dan membuang sampah pada tempatnya dengan tidak sekedar
mengajarkan hal tersebut tapi juga memberikan contoh. Contoh
lain Kepala sekolah, guru, dan staf tata usaha hadir tepat waktu, baik waktu
datang ke sekolah, waktu masuk kelas, waktu ke luar kelas, dan waktu pulang
sekolah. Kepala sekolah, guru, dan saf
tata usaha memberikan contoh terlebih dahulu dalam menegakkan disiplin
disekolah. Tanpa keteladdanan yang baik, mustahil disiplin akan berjalan
maksimal di sekolah.
11. Peduli
Pada Setiap Bentuk Perilaku Siswa
Bentuk kepedulian ini dapat berupa peduli terhadap perilaku
positif siswa maupun peduli terhadap perilaku negatif siswa. Terhadap perilaku
positif siswa harus diberi apresiasi agar menambah motivasi siswa untuk berbuat
yang lebih baik lagi. Terhadap perilaku negatif siswa, harus diberi peringatan
atau teguran agar siswa menyadari perbuatan buruk yang dilakukannya. Kepedulian
disini harus mengakar pada semua elemen yang ada di sekolah.
12. Kepedulian Sosial
Kepedulian sosial ditunjukkan ketika ada warga sekolah
yang sakit atau mendapat musibah. Semua warga sekolah ikut menunjukkan rasa
kepedulian terhadap masalah itu. Bentuk kongkritnya dapat berupa kunjungan
(walaupun melalui perwakilan) ke warga sekolah yang mengalami sakit atau
mendapat musibah tersebut.
3. Penutup
Perilaku negatif yang terjadi di kalangan pelajar
menunjukkan degradasi moral yang memprihatinkan. Hal ini perlu segera mendapat
perhatian dari semua pihak, terutama lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan,
khususnya sekolah harus meningkatkan perannya dalam melakukan pembinaan
terhadap siswa melalui penguatan pendidikan karakter. Pendidikan karakter
adalah upaya sunguh-sungguh guru untuk mengajarkan nilai-nilai pada siswanya
agar mereka menjadi individu yang berkarakter dalam dimensi olah hati, rasa,
dan karsa.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai
pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak,
yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan
baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan apa yang baik itu dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati, serta meninggalkan apa yang buruk.
Nilai-nilai karakter yang dikembangkan di sekolah mengacu pada desain
pendidikan karakter yang terdiri dari lima komponen utama, yaitu: relegius,
nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.
Dalam melaksanakan penguatan pendidikan karakter di
sekolah, peran guru sangatlah penting karena guru bersentuhan langsung dengan
siswanya. Guru menjadi teladan bagi siswanya. Keteladanan dari seorang guru
sesungguhnya menjadi jiwa dari pendidikan karakter. Untuk menjadi teladan, guru
haruslah mencintai siswanya, bersahabat, mencintai pekerjaan, luwes, dan tidak
berhenti belajar.
Sekolah adalah tempat berlangsungnya pendidikan,
termasuk pendidikan karakter. Semua stockholder
harus terlibat secara aktif dalam melaksanakan pendidikan karakter di
sekolah. Sekolah sangat berperan dalam membentuk keperibadian seorang siswa
karena sekolah adalah tempat siswa bersosialisasi dengan sesama siswa, guru,
staf tata usaha dan warga sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
Julaiha, siti. 2014. “Implementasi Pendidikan Karakter
Dalam Pembelajaran” Dinamika Ilmu Vol. 14. No 2, Desember 2014
diakses 24-04-18 pukul 07.00 dari pencarian file:///C:/Users/USERPC/Downloads/15-908-1-PB%20(1).pdf
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Panduan Pembelajaran Untuk Sekolah Menengah Pertama. Jakarta:
Kemdikbud.
Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan. 2016. Konsep dan Pedoman
Penguatan Pendidikan Karakter Tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah
Pertama. Jakarta: Kemendikbud
Koesoema, Doni. 2011. Pendidikan Karakter; strategi Mendidik Anak.
Jakarta: Grasindo.
Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan
Karakter; Menjawab Tantangan krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2012. Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya.
0 komentar:
Posting Komentar