Minggu, 11 November 2018

Wacana Lisan dan Tulis


WACANA LISAN DAN TULIS
Oleh Hermanudin
SMPN 10 Bengkulu Tengah

1.         Pendahuluan
Secara umum wacana dapat dipahami sebagai pernyataan-pernyataan. Masyarakat umum memahami wacana sebagai perbincangan yang terjadi dalam masyarakat ihwal topik tertentu. Wikipedia  mendefinisikan wacana adalah kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Wacana sangat terkait dengan konteks yang menyertainya sebagai kesatuan. Konteks wacana adalah situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana.
Dalam ranah yang lebih ilmiah, Yoce Aliah Darma (2009:3) mengemukakan bahwa wacana merupakan rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara teratur, sistematis dalam satu kesatuan koheren, yang dibentuk oleh unsur-unsur segmental dalam sebuah wacana yang paling besar. Sedangkan unsur nonsegmental dalam sebuah wacana pada hakikatnya berhubungan dengan situasi, waktu, gambaran, tujuan, makna, intonasi, dan tekanan dalam pemakaian bahasa, serta rasa bahasa yang sering dikenal dengan konteks.
Djayasudarma (2012:4), mengemukakan wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar diatas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tulis yang kohesif dan koheren. Kohesi merupakan keserasian hubungan unsur-unsur dalam wacana, sedangkan koheren merupakan kepaduan wacana sehingga komunikatif satu ide.
Alex Sobur (dalam Darma, 2009:3), mengungkapkan bahwa wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa. Jadi wacana adalah proses komunikasi menggunakan simbol-simbol yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa di dalam sistem kemasyarakatan yang luas.
Renkema (dalam Setiawan,2006:1.4) menyatakan bahwa wacana adalah disiplin ilmu yang mengkaji hubungan antara bentuk dan fungsi bahasa dalam komunikasi. Definisi ini menitikberatkan pada penggunaan bahasa dalam komunikasi yang membawa fungsi-fungsi tertentu. Di pihak lain, Alwi dkk (1998: 419) menyatakan bahwa wacana adalah serentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan preposisi yang satu dengan preposisi yang lain yang membentuk kesatuan. Definisi ini memandang wacana merupakan kalimat–kalimat yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Konsep itu membawa kita untuk berhadapan dengan wacana tulis.
Dari beberapa pengertian diatas, wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara teratur, sistematis dalam satu kesatuan koheren yang dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa yang membentuk satu kesatuan yang utuh.
Wacana dapat dikaji dari segi eksistensinya (realitasnya), media komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian. Menurut realitasnya, wacana dibedakan menjadi wacana verbal dan nonverbal. Dari media komunikasi, wacana dibedakan menjadi wacana lisan dan tulis. Dari segi pemaparan, dikenal dengan jenis wacana naratif, deskriptif, prosedural, dan ekspositoris, dan argumentatif.   Dari jenis pemakai dikenal dengan wujud monolog, dialog, dan polilog. Pada artikel ini akan akan dibahas wacana dari media komunikasi atau sudut pandang bentuk bahasa yaitu wacana lisan dan wacana tulis.
2.         Jenis-jenis wacana
Dari sudut pandang bentuk bahasa, Josep Hayon (2007:40), membagi wacana menjadi dua, yaitu wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan ditemukan dalam percakapan, pidato, lelucon, tuturan deklamasi, percakapan, debat, tanya jawab, sementara wacana tulis terutama pada media yang menggunakan bahasa tulis seperti iklan, surat, cerita, esai, makalah, surat menyurat dan lain-lain. Pada wacana mengasumsikan adanya penyapa (addressor) dan pesapa (addresses). Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar. Dalam wacana tulis, penyapa adalah penulis, sedangkan pesapa adalah pembaca.
2. 1      Wacana Lisan
Menurut Tarigan (2009:52), wacana lisan atau spoken discourse adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan. Untuk menerima, memahami atau menikmati wacana lisan ini maka para penerima harus menyimak atau mendengarkannya. Dengan kata lain pendengar adalah penyimak. Wacana lisan ini sering pula dikaitkan dengan interactive discourse  atau wacana interaktif. 
Jauh sebelum manusia mengenal huruf, bahasa telah digunakan oleh manusia, manusia memakai bahasa lisan dalam berkomunikasi. Bahasa lisan menjadi bahasa yang utama dalam hidup manusia karena lebih dahulu dikenal dan digunakan oleh manusia dari pada bahasa tulis.
Bahasa lisan digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk berinteraksi dengan orang lain. Karena sering digunakan, maka bahasa lisan memiliki ciri – ciri yang berlainan dengan bahasa tulis. Salah satunya yang menonjol adalah sering terjadi penghilangan bagian – bagian tertentu, yang dapat menghilangkan pengertian wacana, jika salah satu partisipannya ( pembicara dan pendengar ) belum terbiasa seperti dicontohkan Josep Hayon (2007:41)  berikut :
Wati          : “Nunung, kemana?”
Nunung     : “Biasa”.
Pada wacana di atas Wati dapat mengetahui bahwa Nunung akan pergi, misalnya, ke warung untuk makan roti panggang karena pada saat seperti itu kebiasaan Nunung makan roti panggang di warung X.  Bagi orang lain yang belum mengenal kebiasaan Nunung, wacana di atas tidak dapat dimengerti. Ia tidak dapat menarik kesimpulan yang tepat. Pertama, Karena ia mengetahui bahwa tidak ada lokasi  yang bernama Biasa atau ujaran “biasa” tidak mengacu kepada suatu tempat yang pasti dan kedua, ia belum mengenal kebiasaan atau memiliki “Pengetahuan yang telah diketahui bersama “ dengan Nunung. Dalam berkomunikasi lisan, orang lebih sering menggunakan wacana lisan yang pendek dan kadang-kadang tidak gramatikal, seperti dicontohkan diatas.
Ketika seseorang mengutarakan maksud dengan wacana lisan, tidak hanya memperhatikan  unsur bahasa tetapi juga digunakan gerakan tubuh, pandangan mata, dan lain – lain, yang turut memberi makna wacana itu. Seorang atasan yang sedang memarahi bawahannya, akan juga memperlihatkan raut wajah dan gerakan tangannya yang memperkuat makna bahwa hal itu tidak boleh dilakukan lagi oleh bawahannya.
Wacana lisan diciptakan atau dihasilkan dalam waktu atau situasi yang nyata. Oleh sebab itu, dalam semua bentuk wacana lisan, kita harus mengetahui dengan pasti: siapa yang berbicara, kepada siapa, ada kesamaan konteks antara pesapa dan penyapa,  dan bagaimana situasi pada saat pembicaraan berlangsung.
Fatimah Djayasudarma (2012:6), mengemukakan wujud wacana lisan dapat berupa 1). Sebuah percakapan atau dialog lengkap dari awal sampai akhir, dan 2). satu penggalan ikatan percakapan (rangkaian percakapan yang lengkap, biasanya memuat situasi, maksud, rangkaian penggunaan bahasa), yang berupa bagian dari percakapan dan merupakan situasi yang komunikatif.
Kelemahan wacana lisan adalah kesulitan dalam mengulang kembali wacana dengan sama tepat seperti yang pertama. Kelemahan wacana ini juga menyebabkan wacana lisan, sebagai bahan bukti, dalam bidang hukum memiliki kedudukan yang paling lemah dibanding wacana tulis.
Josep Hayon (2007:42) mengemukakan ciri – ciri wacana lisan sebagai berikut :
a)      Wacana lisan memerlukan daya simak yang tinggi agar interaksi tidak terputus.
b)      Wacana lisan sulit diulang, dalam arti mengulang hal yang tepat sama dengan ujaran pertama
c)      Wacana lisan dapat dilengkapi dengan gerakan anggota tubuh untuk memperjelas makna yang dimaksud
d)     Wacana lisan menyatukan partisipanya dalam satu situasi dan konteks yang sama.
e)      Wacana lisan biasanya lebih pendek daripada wacana tulis
f)       Wacana lisan juga melibatkan unsur kebiasaan atau pengetahuan yang telah diketahui bersama (common ground),yang ada pada satu keluarga atau kelompok
g)      Wacana lisan sering melibatkan partisipanya secara langsung.

2. 2      Wacana Tulis
Wacana tulis adalah jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan. Wacan tulis dapat berwujud sebuah teks, sebuah alinea, dan sebuah wacana. Wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan dan penerapan sistem ejaan.  Wacana tulis sering ditemukan pada bacaan majalah, koran, buku, makalah , dll.
Wacana tulis mulai dikenal setelah ditemukan huruf. Huruf dibuat untuk mengganti peran bunyi bahasa sehingga biasanya orang mengatakan bahwa huruf adalah lambang bunyi. Huruf – huruf itu dipelajari manusia dan kemudian digunakan untuk menyampaikan informasi kepada orang lain yang tinggal berjauhan.
Wacana tulis tidak menghadirkan penulis dan pembaca pada satu saat dan tempat yang sama, seperti halnya pada wacana lisan.  Penulis dan pembaca pada wacana tulis tidak dapat berkomunikasi secara langsung sehingga pesan yang ingin disampaikan oleh penulis harus dibahasakan dengan baik dan benar. Bila dibandingkan dengan wacana lisan, wacana tulis biasanya lebih panjang, unit-unit kebahasaannya lengkap, dan mengikuti aturan bahasa. Kadang-kadang berisi keterangan-keterangan untuk memperjelas pesan dan menghindari kesalahtafsiran makna oleh pembaca. Bentuk-bentuk bahasa biasanya baku. Berikut ini merupakan contoh wacana yang berupa rangkaian kalimat yang utuh dan padu.   
(1) Panen yang terjadi saat musim hujan mengakibatkan kualitas gabah petani buruk sehingga harganya menjadi turun. Pemerintah harus melihat hal itu sebagai situasi yang dihadapi petani saat ini. Pemerintah harus membeli gabah hasil panen petani meski dengan risiko merugi. Pemerintah tidak dapat berkelit dengan menyatakan bahwa tidak ada paksaan bagi petani untuk menanam padi. Namun, dalam konteks swasembada beras, pilihan menanam padi merupakan program ketahanan pangan pemerintah, Karena itu, pemerintah tidak bisa lepas tangan.
(dikutip dari Modul 1 Hakikat Wacana Bahasa Indonesia Oleh Teguh Setiawan)

Wacana di atas terbentuk oleh beberapa kalimat. Kalimat satu dengan kalimat lain memiliki keterkaitan. Hal itu dapat diketahui dengan adanya bentuk pengulangan kata pemerintah. Pengulangan kata pemerintah tidak hanya sekedar mengulang, tetapi difungsikan untuk mengaitkan informasi yang ada pada kalimat pertama dengan kalimat-kalimat berikutnya. Dengan begitu rentetan kalimat itu menjadi kalimat yang utuh dan padu. Bandingkan dengan wacana tulis berikut ini.

(2) Setiap minggu pagi Karno selalu membersihkan kuda peliharaannya. Di pasar tradisional dapat kita jumpai kuda sebagai alat transportasi. Kuda di pacuan kuda sangat kuat dan bagus. Sebagian orang menganggap sate kuda dapat meningkatkan stamina tubuh. 
(dikutip dari Modul 1 Hakikat Wacana Bahasa Indonesia Oleh Teguh Setiawan)


Berbeda dengan teks sebelumnya, teks di atas bukan merupakan wacana. Kalau membaca teks di atas, kita tidak dapat mengetahui apa yang ingin diinformasikan. Kalimat-kalimat itu seakan-akan berkaitan. Hal itu dapat diketahui dengan adanya pengulangan kata kuda. Namun, kalau diperhatikan dengan seksama kuda yang dibicarakan dalam kalimat satu dan kalimat berikutnya merupakan kuda yang berbeda. Perbedaan itu yang menyebabkan tidak adanya keutuhan dan kepaduan antarkalimat.
 Meskipun banyak wacana tulis yang panjang, ada juga wacana tulis yang pendek. Wacana tulis seperti ini banyak dijumpai di iklan, di stasiun kereta, di swalayan, dan di jalan, seperti contoh berikut ini:
1)      Pintu Keluar
2)      Jalur Evakuasi
3)      Awas! Tegangan tinggi!
4)      Kocok dulu sebelum diminum
Contoh (1) sering ditemukan di stasiun kereta api, di swalayan, dan di perkantoran. Tulisan itu menyatakan bahwa jika Anda ingin keluar dari ruangan ini atau gedung ini, ikutilah jalan ini. Yang dimaksud dengan Anda adalah siapa saja yang berada dalam ruangan atau gedung itu.
Contoh (2) sering kita temukan di gedung-gedung bertingkat atau di jalan. Petunjuk ini menyatakan bahwa kalau terjadi bencana atau gempa yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau Tsunami,  ikuti petunjuk arah yang ada untuk melakukan evakuasi ke tempat yang dianggap aman.
Contoh (3) adalah peringatan yang ditujukan kepada orang untuk tidak mendekati atau menyentuh tempat itu karena memiliki listrik tegangan tinggi.
Contoh (4) adalah label sebuah kotak obat. Pada contoh ini kata obat dihilangkan. Maksud tulisan ini untuk memberi tahu kepada pemakai bahwa sebelum diminum, obat itu harus dikocok.
 Wacana tulis yang pendek, seperti di atas sangat mirip dengan wacana lisan, seperti penghilangan bagian tertentu dari wacana itu, penyatuan saat dan tempat yang sama bagi penulis dan pembaca, dan penggunaan bentuk – bentuk informal. Ada kemungkinan wacana tulis seperti ini adalah pengalihan dari wacana lisan. Orang yang membuatnya tentu berpikir lebih baik ditulis daripada terus-menerus diucapkan.
Berkenaan dengan wujud wacana tulis, Fatimah Djayasudarma (2012:6), mengemukakan wujud wacana tulis dapat berupa: 1) sebuah teks/bahan tertulis yang dibentuk oleh lebih dari satu alenia yang mengungkapkan sesuatu secara berurutan dan utuh, misalnya sepucuk surat, sekelumit cerita, sepenggal uraian ilmiah, 2) sebuah alenia, merupakan wacana, apabila teks hanya terdiri atas sebuah alenia, dapat dianggap sebagai satu kesatuan misi korelasi dan situasi yang utuh, 3) sebuah wacana  mungkin dapat dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk dengan subordinasi dan koordinasi atau sistem ellepsis.
Fatimah Djajasudarma (2010:14),  membedakan wacana tulis berdasarkan sifatnya menjadi wacana tulis transaksional dan wacana interaksional. Wacana transaksional jika yang dipentingkan adalah isi komunikasi. Wacana interaksional jika merupakan komunikasi timbal balik. Wacana tulis transaksional dapat berupa iklan, instruksi, surat, esai, makalah, tesis, dll. Wacana tulis interaksional dapat berupa surat menyurat dll.
Josep Hayon (2009:43) mengemukakan ciri-ciri wacana tulis sebagai berikut: (1) biasanya panjang dan menggunakan bentuk bahasa yang baku, (2) wacana tulis dapat dilihat kembali tanpa ada perbedaan unit – unit kebahasaanya, dan (3) wacana tulis biasanya mempunyai unsur kebahasaan yang lengkap ( tidak ada penghilangan bagian – bagianya).

3.         Penutup
Wacana merupakan rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara teratur, sistematis dalam satu kesatuan koheren yang dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa yang membentuk satu kesatuan yang utuh.
Berdasarkan dari segi bentuk bahasanya, wacana dibedakan menjadi wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan. Wacana lisan digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk berinteraksi dengan orang lain. Karena sering digunakan, maka bahasa lisan memiliki ciri – ciri yang berlainan dengan bahasa tulis. Salah satunya yang menonjol adalah sering terjadi penghilangan bagian – bagian tertentu dari unsur kalimat tersebut. Wacana lisan diciptakan atau dihasilkan dalam waktu atau situasi yang nyata. Oleh sebab itu, dalam semua bentuk wacana lisan, kita harus mengetahui dengan pasti: siapa yang berbicara, kepada siapa, ada kesamaan konteks antara penyapa dan pesapa,  dan bagaimana situasi pada saat pembicaraan berlangsung. Wujud wacana lisan dapat berupa percakapan atau dialog dan penggalan dialog.
Wacana tulis adalah jenis wacana yang disampaikan melalui tulisan. Wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan dan penerapan sistem ejaan. Wacana tulis tidak menghadirkan penulis dan pembaca pada satu saat dan tempat yang sama, oleh karena itu pesan yang ingin disampaikan oleh penulis harus dibahasakan dengan baik dan benar. Wacana tulis memiliki ciri-ciri: menggunakan bentuk bahasa yang baku, dapat dilihat kembali tanpa ada perbedaan unit – unit kebahasaanya, dan biasanya mempunyai unsur kebahasaan yang lengkap dan tidak ada penghilangan bagian – bagianya. 

  DAFTAR PUSTAKA

Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Djajasudarma, Fatimah. 2010. Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Refika Aditama.
___________________.  2012. Wacana dan Pragmatik. Bandung: Refika Aditama.
Hayon, Josep. 2007. Membaca dan Menulis Wacana. Jakarta: Grasindo.
Setiawan, Teguh. 2006. “Hakikat Wacana Bahasa Indonesia”, http://repository.ut.ac.id/4773/1/PBIN4216-M1.pdf  diakses 5 September 18  pukul 20.15.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa

0 komentar:

Posting Komentar